Jakarta, CNN Indonesia -- Bunda tetap bersepeda melaju dengan kecepatan tinggi di luar sangkanya. Tak ada hal luar biasa bagi Bunda Zachriah. Hanya rasa rindu ingin segera memeluk Ams. Kekasih jiwa sepanjang hayat ananda Ams putra ruh di badan bagi semua bangsa kelak. Seperti mimpi-mimpinya. Bunda tak banyak berharap apapun dalam hidup. Hanya ingin senantiasa berbagi.
Deru pesawat hingar bingar di Bandara. Bunda lewat begitu saja mengangkat tangannya, petugas bandara di area parkir hingga semua pekerja di Bandara itu, ia kenal dengan baik, pelanggan sarapan pagi buatannya. Bunda menaruh sepeda di antara deretan mobil di Bandara, ia segera berlari melalui segala hal ketentuan di Bandara Internasional, hanya mengangkat tangannya.
Bunda menunggu di pintu exit kedatangan. Ams, bersalaman sejenak dengan sesama di manapun ia tersenyum, selalu saling memberi menganggukkan kepala semacam keramahan budaya saling memberi hormat kepada sesama. Ams, segera meraih seorang anak berlari lepas dari Ibunya ingin kembali menuju pesawat bersandar di tepi landasan pacu.
“Saya ingin naik pesawat itu lagi Om.” Suara anak itu di gendongan Ams, di bawa menuju Ibunya. “Saya mau jadi pilot Om.” Mata bulat polos itu ada sinar di dalamnya. Ams, menangkap makna itu.
“Ya. Kamu akan jadi pilot, kelak.” Jawab Ams, keduanya tertawa riang.
“Terima kasih.” Suara seorang Ibu, pada Ams, mengangguk menurunkan anak itu dari gendongan, Ams menyerahkan kepada Ibunya.
Bunda Zachriah, ingin berlari masuk ke koridor kedatangan, meski hal itu bisa ia lakukan, molos dengan mudah hanya dengan senyum atau lambaian tangan, namun hal itu tidak ia lakukan, meski perasaan segera akan memeluk Ams dengan hangat, mengalir berkat kebaikan Bunda, ia tak pernah pula kesulitan apapun dari keinginan memberi kebaikan juga bagi cita-cita di hidupnya untuk sesama.
Sejak alam raya ada, sejak hidup bertumbuh mungkin, dengan segala pola laku makhluk di dalam pusaran iman waktu pilihan-pilihan, setelah angkasa terbentuk di antara gebyar ledakan bintang menerbangkan kerlap kerlip nebula dalam arus ruang hampa di antara labirin ozon melapis oksigen pemberi kehidupan para makhluk.
Dari kejauhan Ams merasakan getaran nurani, ia mendongakkan kepala, kaki menjinjit. Cahaya itu. Ams melambaikan tangan pada Bunda. Petugas Bandara mempersilakan Bunda menghampiri Ams, ananda tercinta. Ams segera mempercepat langkahnya di antara sesama menuju antrian keluar dari kedatangan.
Ams mencium tangan Zachriah, Ibundanya. Bunda memeluk ananda Ams sepenuh kasih jiwanya. “Perjalananmu jauh. Bagikan manfaatnya” Suara Bunda, berjalan berdampingan dengan Ams menuju sepeda di halaman parkir Bandara Internasional itu.
“Iya Bunda. Terima kasih.” Bunda duduk di belakang sepeda membonceng, Ams mengayuh sepeda menuju sesama telah menunggu di sekolah-sekolah harapan.
“Apakah pidatomu bermanfaat di ruang konferensi bagi semua bangsa.”
“Amin Bunda. Saya menjalankan fitrah sebagaimana amanah itu hadir di mimpi Bunda.”
“Amin. Semoga perdamaian di benua-benua segera terwujud.”
“Ya. Sebuah harapan.” Jawab Ams.
Peperangan antara keinginan menguasai bukan miliknya dan mempertahankan ketentuan harapan kebaikan milik kehidupan, sejak awal kejadian pada ruang manuskrip sejarah terus berlangsung. Meski sesungguhnya tidak lagi seperti tertulis. Logika peranan-peranan hidup seakan menghipnotis, mengubah, membuat lupa kebaikan tercecer begitu saja di jazirah sejarah itu.
Sin, sebagaimana lazimnya bersama Ams dan Amaramis selalu datang menunggu kehadiran janji telah ditepati selalu di sepanjang zaman. Kerinduan pada rentang pelukan putih dalam cinta dan kasih kisah-kisah senantiasa ada hadir memberi mereka harapan bahwa bangsa-bangsa pada saat waktu, akan kembali ke tempat asal. Sebagaimana kesetiaan Amaramis abadi di alam nurani, cinta tulus tersimpan kangen, dalam doa sepanjang masa.
Meski mereka tak memiliki kekuatan melawan kehendak itu, kesaksian telah dicatatkan, mereka penuh ikhlas ketika meminta Kor, kembali diminta pulang sebagaimana kehendak sejak Kor dilahirkan. Meski cinta dan kasih seakan kejam merenggut segala hak-hak cinta dan kasih telah dititipkan pada keluarga itu, meski seakan sirna dengan cepat bagai arus badai gurun Gobi.
Siklus garis waktu paralel. Selesai perbincangan itu. Sin, Amaramis dan Ams, menuju ke bukit sisi Timur, tempat kesetiaan bercengkerama dengan Kor. “Dia baru saja hadir di sini membawa kabar baik. Duduklah kalian.” Suara Ayah. Benar di depan Ayah ada dua mangkuk kayu. Sin hapal betul kebiasaan Kor, menaruh mangkuk tepat di tengah alasnya.
Ams, menuang air dari cawan agak lebih besar ke mangkuk Kor, meminumnya. “Boleh aku memegang cawan itu sejenak.” Suara Amaramis lirih, ia tak kuasa, getaran kasih dalam cahaya di mangkuk itu memberi tanda kebahagiaan. Amaramis, berlari cepat menuruni bukit. Sin, memahami betul nurani kasih itu, segera menyusul Amaramis. Ams saling memandang dengan Ayah. “Berkat itu selalu hadir.” Suara Ayah.
Ams dan Bunda Zachriah, tiba di tempat tujuan, salah satu sekolah harapan. Ams, menerima pelukan dari adik-adik di sekolah itu. Semua minta gendong, meski sejenak dari Ams. Zachriah, ke ruang guru menyiapkan segala sesuatu di aula sekolah bersama guru-guru di sekolah harapan. Ams, mengisahkan oleh-oleh perjalanan dari konferensi lembaga bangsa-bangsa dunia menuju harapan perdamaian dunia.
Jakarta, Indonesia, Juli 2017.