Puisi: Ibu Merenda Awan Jadi Langit

CNN Indonesia
Sabtu, 08 Jul 2017 07:33 WIB
Melihat Ibu merenda duduk di beranda. Terasa tak akan pernah cukup kebaktianku untuk Ibu.
Ilustrasi (Foto: VaniaRaposo/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ibunda I

Lembayung senja di mata Ibu menipis perlahan. Tak kuasa bertanya hal tak berkenan untuk Ibu. Melihatnya merenda duduk di beranda. Terasa tak akan pernah cukup kebaktianku untuk Ibu.

Salam Ilahi tumbuh di daun-daun di bunga-bunga di embun-embun di sepanjang jalan menuju semua mata angin. Menata ruh di badan. Berlari bermain layang-layang. Menjadi sulaman indah di gunung-gunung dari desa ke kota. Kenangan. Tertulis di jalinan kasih Ibu.

Ibunda II

Ada banyak kenangan masa kecilku sepanjang rel lori. Rambutku selalu bau matahari. Dari sungai ke dangau lalu ke ladang tebu. Berlari, di antara pluit lori menuju sore. Memberi kabar aku pulang dari sungai atau bermain kelereng. Di antara sawah dan ladang.

Tiba di tengah kebun menuju rumah pada senja. Selalu tertangkap mata kebijaksanaan mu. Melihat Ibu melambaikan tangan memanggilku pulang, mandi pada sore. Lega rasanya.

***

Ibunda III

Tembang menulis tentang bunga di antara taman hati. Angin membawa kisah tentang melati. Di antara hukum-hukum Keilahian.

Ibu merajut setia. Memangku buah hatinya, disusui. Dari hari menuju bulan hingga genap di tahun berganti meniti kedaulatan negerinya. Mengalun lagu keroncong. Menggema bait melodi. Melekat teduh disukmanya. Setia pada negeri cakrawala Khatulistiwa.

***

Ibunda IV

Ibu. Di pusaramu, aku dalam syair di gugus doa menuju surga Ilahi. Aku belum pernah genap memberi arti dalam hidupmu. Senantiasa Ibu memberikan berkat dalam cinta kasih. Menuju zaman perubahan, akil balig. Kau ajarkan aku huruf alfabet tanda baca huruf A sampai dengan Z.

Bulan Ramadan, akan datang lagi pasti tetap bersamaku. Meski Ibu tak akan hadir di saat-saat berbuka. Setiap butir nasi adalah doa darimu. Sungkem.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER