Bandung, CNN Indonesia -- Syarat utama pembentukan Perppu adalah “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 UUD 1945 dan penjelasan yang dipaparkan sebelumnya adanya kegentingan yang dimaksud dengan kegentingan adalah keadaan yang krisis, keadaan yang genting, dan keadaan yang gawat. Kemudian timbul pertanyaan, “Seberapa gawatkah negara Indonesia sehingga kemudian pemerintah mengeluarkan Perppu?”
Selanjutnya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga akan terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Sementara itu kita mengetahui bersama bahwasanya berkenaan mengenai pengaturan organisasi kemasyarakatan (Ormas) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan dengan prosedur yang jelas dan sesuai dengan negara hukum. Di mana untuk membuktikan apakah Ormas bertentangan atau tidak dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka ditempuh jalur pengadilan. Pengadilanlah kemudian yang nantinya menilai bukan kemudian malah menggunakan tafsir subjektif penguasa untuk menilai keberadaan ormas tersebut.
Inilah yang kemudian krusial dalam Perppu Ormas di mana diatur berkaitan dengan penyederhanaan mekanisme proses pembubaran ormas. Peringatan tertulis untuk organisasi yang dinilai telah melanggar ketentuan, pada mulanya ditetapkan tiga kali. Akan tetapi, dalam Perppu dipangkas menjadi satu kali.
Aturan baru ini juga memberi kewenangan kepada pemerintah untuk langsung membubarkan ormas tanpa meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan menunggu putusan pengadilan, seperti diatur dalam undang-undang lama. Prosedur baru ini memberi kewenangan tanpa batas kepada pemerintah.
Hal itu rawan disalahgunakan untuk membungkam dan membubarkan ormas yang kritis terhadap pemerintah. Inilah yang berbahaya yang dapat mengantarkan negara Indonesia yang katanya disebut sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi melenceng menuju rezim kediktaroran.
Padahal kita ketahui bersama, bahwa konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Melalui Perppu tersebut, pemerintah dengan subjektivitasnya bisa membubarkan ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, menilik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan syarat diterbitkannya Perppu oleh pemerintah adalah “kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.”
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk kemudian menerbitkan Perppu apalagi tidak sedang terjadi kekosongan hukum karena aturan mengenai ormas sudah secara jelas termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Apalagi apabila kita resapi bersama bahwa Perppu tersebut juga tumpang tindih pengaturannya dengan norma-norma dalam KUHP, terkait delik penodaan agama, permusuhan yang bersifat suku, agama, ras dan golongan, serta delik makar yang sudah diatur dalam KUHP. Adanya tumpang tindih ini justru bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
Apabila kita telaah lebih dalam, pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, Indonesia menerapkan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), di mana legislatif (DPR) atau kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif (Presiden) atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif (MK dan MA), kekuasaan mengadili pelanggaran pelaksanaan undang-undang jelas-jelas terpisah.
Namun keduanya ada titik kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu, pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Selanjutnya, dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pascareformasi 1998 telah berhasil meletakkan sendi-sendi
check and balances antar lembaga-lembaga negara termasuk membatasi kekuasaan eksekutif. Sehingga antarlembaga negara bisa saling mengecek satu sama lain tanpa menabrak wewenang dan fungsinya yang telah dijamin dalam konstitusi. Pembatasan kewenangan tersebut dilakukan untuk mengindari kesewenang-wenangan.
Dengan terbitnya Perppu Ormas ini jelas telah menciderai apa yang diperjuangkan bangsa Indonesia bertahun-tahun lamanya untuk kemudian bisa lepas dari rezim kediktaktoran dengan melakukan reformasi ketatanegaraan. Amanat reformasi yang akhirnya berujung pada perubahan terhadap konstitusi kita yang kemudian menyepakati tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Perppu yang kemudian menghilangkan prosedur pengadilan untuk kemudian membubarkan ormas yang bertentangan dengan landasan ideologi dan konstitusi kita telah mengarah kepada
executive heavy. Di mana lembaga eksekutif telah keluar dari ‘khittah’nya dan menabrak apa yang seharusnya menjadi tugas dan wewenang dari lembaga yudikatif yang dengan jelas telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 24 (1) memaparkan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Memang keberadaan Perppu telah dijamin dalam konstitusi. Akan tetapi penggunaanya digunakan sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam keadaan gawat. Selagi tidak adanya kemendesakan tersebut, mengapa tidak ditempuh cara-cara konstitusional di mana eksekutif dan legislatif duduk bersama untuk kemudian merevisi undang-undang organsiasi kemasyarakatan apabila memang perlu.
Terlebih pemerintah mengatakan bahwasanya jauh-jauh hari sebelum Perppu dikeluarkan, pemerintah telah mengamati pergerakan ormas-ormas yang dinilai akan membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian ketika diamati jauh-jauh hari, mengapa kemudian pemerintah tidak berinisiasi untuk membuat draft Rancangan Undang-Undang (RUU) dan kemudian membahasnya bersama DPR? Inilah yang kemudian sangat disayangkan, eksekutif seolah tidak menghargai pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan terlihat telah melakukan pemerkosaan terhadap prinsip-prinsip negara hukum yang telah terejawatahkan secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih lanjut, keberadaan Perppu Ormas berpotensi melanggar prinsip
due process of law (proses penegakan hukum yang benar dan adil) terlebih pemerintah sebagai lembaga eksekutif jutsru secara subjektif dapat menilai keberadaan suatu ormas apakah ormas tersebut bertentangan atau tidak dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan subjektifitas pemerintah tersebut, ormas yang menurut pemerintah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar bisa dibubarkan. Apalagi Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip
due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Apakah ini kemudian yang disebut sebagai negara hukum?
Selanjutnya, terdapat kekeliruan pemerintah yang berpandangan bahwa asas hukum
contrario actus sebagai alasan dikeluarkannya Perppu. Secara singkat menjelaskan lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya.
Memang harus dibenarkan bahwasanya tidak boleh dipertahankan organisasi kemasyarakatan yang berniat untuk menabrak dan bertentangan dengan landasan ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara hukum yang diejawatahkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka negara di sini harus membasminya. Namun, menjadi satu kesalahan fatal apabila upaya tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur di negara hukum, seperti halnya Indonesia. Apalagi cara-cara yang dilakukan malah bersebrangan dengan apa yang diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Apabila ditarik kesimpulan berdasarkan dengan kajian di atas, maka pemerintah telah melakukan blunder melalui Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas. Blunder tersebut dilakukan dalam hal prosedural dan subtstansial.
Dalam hal prosedural, di sini dapat dilihat bahwa tidak ada urgensi nyata yang mampu ditunjukan oleh pemerintah bahwa negara sedang berada dalam keadaan darurat/kemendesakan yang kemudian mengharuskan pemerintah melakukan Perppu terlebih pengaturan mengenai ormas sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Selanjutnya penerbitan Perppu oleh pemerintah ini sebagai upaya pemerintah untuk menunjukan bahwa rezim diktator hadir kembali di bumi Indonesia. Karena apabila pemerintah menginginkan merevisi Undang-Undang Ormas maka Pemerintah bisa mengajukan sesuai dengan prosedur formal yang ada. Keadaan ini jelas menunjukan bahwa pemerintah telah memaksakan keadaan darurat tersebut serta menunjukan bahwa pemerintah telah menciderai prinsip pemisahan kekuasaan dan
check and balances antara lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang telah susah payah diupayakan dalam semangat reformasi 1998. Di mana pemerintah dinilai telah kebablasan dari apa yang telah menjadi tugas dan kewenangannya (
executive heavy).
Dari segi substansi, Perpu Ormas telah menciderai prinsip
due process of law (proses penegakan hukum yang benar dan adil) terlebih pemerintah sebagai lembaga eksekutif jutsru secara subjektif dapat menilai keberadaan suatu ormas apakah ormas tersebut bertentangan atau tidak dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan subjektifitas pemerintah tersebut, Ormas yang menurut pemerintah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar bisa dibubarkan.
Apalagi Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Sudah menjadi kesepakatan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (
rechtstaat), bukan negara berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Menjadi sangat berbahaya apabila pemerintah menyelewengkan kekuasaanya untuk bertindak semena-mena. Tindakan tersebut jelas mengarahkan Indonesia kepada era kediktaroran yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Berangkat dari kajian tersebut maka dengan ini, BEM Kema Unpad mengeluarkan sikap:
1) menolak keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas. Karena Perppu tersebut telah menunjukan sinyal kediktatoran pemerintah;
2) menuntut pemerintah untuk tidak bertindak sewenang-wenang dan menuntut agar pemerintah melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten serta asas-asas hukum yang berlaku umum demi meningkatkan semangat demokrasi di Indonesia;
3) menuntut DPR untuk menolak dengan tegas Perppu yang diajukan pemerintah pada persidangan berikutnya dan meminta agar DPR tidak mengulur-ngulur waktu dalam pembahasan Perppu;
4) mendukung pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 apabila secara sah dan meyakinkan bertentangan dan dibuktikan di pengadilan yang didahului oleh pemberian sanksi administrasi, surat peringatan, penghentian bantuan dana sebagaimana prosedur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
UpdateBeberapa bagian dari artikel di atas sudah kami sunting dengan tambahan catatan dari redaksi CNNIndonesia.com:
1. CNN Student adalah platform User Generated Content, redaksi CNNIndonesia.com tidak bertanggung jawab terhadap konten yang dikirimkan user atau kontributor.
2. Ada informasi bahwa pakar tata negara Jimly Asshiddiqie berkeberatan terhadap penyebutan keterangannya di dalam tulisan ini, yang dinilainya tidak sesuai fakta sebenarnya. Kami pun menyuntingnya, dengan tidak mengurangi maksud dari artikel ini. Kami juga menyunting keterangan narasumber lain yang disebutkan dalam artikel ini, karena tidak disertai keterangan dan konteks yang jelas.
3. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan, kami mohon maaf.