Pengalaman Guru Muda di Pedalaman Papua

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Kamis, 07 Sep 2017 07:17 WIB
Di pelosok negeri banyak lahan yang siap untuk kita kelola dan membentuk kita menjadi calon pemimpin di masa depan dan yang mengenal bangsa sendiri.
Masyarakat dan pemandangan keseharian di Lembah Baliem, Papua. (Foto: CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kita perlu menjawab pertanyaan klasik mantan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy: “Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu tetapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan kepada negaramu.”

Mengabdikan diri ke pelosok negeri semakin mendekatkan kita dengan jutaan pertanyaan manusia mengenai hakikat sebuah hidup. Saat menjadi guru Sarjana Mendidik Di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM-3T) pada Agustus 2015-Agustus 2016, saya menikmati pengalaman dan arti hakikat sebuah hidup.

Sungguh suatu periode hidup yang membahagiakan bagi saya, bisa mengabdikan diri ke pelosok negeri. Anak muda Indonesia berjumlah 69 juta jiwa lebih, itu adalah kekuatan yang luarbiasa untuk melakukan suatu perubahan untuk kebaikan.

Banyak permasalahan di daerah seperti kemiskinan, pemerataan pendidikan berkualitas, rendahnya kualitas kesehatan dan lainnya. Kalau kamu ke pedalaman Papua khususnya Pegunungan Tengah Papua, kamu akan temukan realitas kehidupan yang tidak ada di kota.

Saya menemukan polosnya anak-anak dan kebersahajaan masyarakat, sehingga memacu semngat untuk berkarya. Di pelosok negeri banyak “lahan” yang siap untuk kita kelola dan membentuk kita menjadi calon pemimpin di masa depan dan yang mengenal bangsa sendiri.

Ketika pertama kali ke Pegunungan Tengah Papua, kamu akan langsung disuguhi indahnya pemandangan lembah Baliem, pegunungan Jayawijaya serta danau Habema yang merupakan danau tertinggi di Indonesia.

Belum lagi uniknya masyarakat lembah Baliem dengan segala atribut kebudayaannya. Utama dan paling utama dari keindahan tersebut ialah anak-anak Papua, ingusnya, telapak kaki yang menjadi sandal dan sepatu untuk beraktivitas, baju yang berhari-hari tidak diganti dan dicuci akibatnya aroma tubuh mereka menyengat. Tidak terlupa kulit hitam dan rambut keriting mereka.

Di balik potret pemandangan indah itu ada kemiskinan, kualitas pendidikan dan penyakit HIV AIDS serta lainnnya. Sampai-sampai akan dibangun Rumah Sakit HIV AIDS pertama di Indonesia oleh negara asal Nomensen, sang misionaris di tanah Batak.

Tapi penyakit HIV AIDS tak dikenal namanya di sini. Mungkin hanya orang yang berpendidikan saja yang tahu. Jangan tanya masyarakat di pedalaman.

Berdasarkan pengamatan saya, penyakit HIV AIDS disebut oleh masyarakat pedalaman adalah penyakit buatan. Bertahun-bertahun sakit itu di pendam bahkan didiamkan hanya karena dikatakan penyakit buatan. Itu sebabnya orang Jerman berencana buat Rumah Sakit untuk Pengidap HIV AIDS di Wamena dan menjadi pertama di Indonesia.

Terlepas dari masalah itu, ada banyak kenangan dan pembelajaran yang masih tertinggal di dalam pikiran setelah bertugas selama setahun di sana, yang terbawa terus meski saya sudah tak lagi berada di sana.

Bagaimana anak-anak dan masyarakat sangat menghormati guru. Mereka sangat sayang sama guru. Perasaan itu membuat kami lupa dengan segala keterbatasan.

Bahkan ada teman yang dahulunya tidak ingin menjadi guru dan niat untuk bergabung bersama SM-3T hanya untuk jalan-jalan ke Papua, khususnya Raja Ampat. Tetapi setelah mengalami gejolak perasaan seorang guru muda dengan melihat kondisi anak-anak di pelosok Jayawijaya khususnya pendidikan, dia bulatkan tekad untuk tetap mencintai profesi guru, mencintai anak-anak dan akan tetap menjadi guru.

Kalau kita berjumpa dengan masyarakat, mereka akan menyapa: “Pagi bu guru atau hormat pak guru”. Lalu, anak-anak murid akan membawakan sayur, ikan, rica (cabe rawit), erom (ubi) dan mereka tidak segan-segan membantu menyuci piring atau mengangkat air untuk keperluan sehari-hari mengingat terkadang air sulit untuk didapatkan. Begitu sayang dan hormatnya mereka terhadap guru.

Saya sendiri mengangkat dua anak murid untuk tinggal bersama saya selama setahun. Saya memanggil mereka Kosong-Satu dan Kosong-Dua. Istilah tersebut lazim digunakan di kabupaten Jayawijaya untuk menyebut Bupati dan Wakil Bupati. Berharap kelak mereka akan menjadi generasi penerus Papua yang akan membawa Papua dalam kesejahteraan dan kedamaian di Tanah Papua.

Apa yang penulis makan dan minum mereka dapatkan juga. Kami membicarakan banyak hal seperti nasionalisme hingga kemerdekaan Papua. Ini pendidikan non-formal yang saya ajarkan kepada mereka, bahwa Papua adalah Indonesia dan Indonesia sangat peduli pada Papua. “Karena itulah pak guru Anju datang kemari anak,” kata saya.

Sesekali saya mengajak mereka ke kota Wamena karena mereka sangat jarang ke kota. Anehnya, mereka takut ke kota karena takut dibunuh. Memang benar, di Jayawijaya sering terjadi perang antar distrik (suku), mabuk dan pemalakan. Jika terjadi pembunuhan maka sangat jarang diproses hukum.

Proses denda adat yang lebih dominan dalam menyelesaikan banyak permasalahan. Denda adat dibayar dengan Wam, sebutan untuk babi dalam bahasa Jayawijaya.

Walaupun secara kasat mata, terlihat sangat ekstrem dan penuh kekerasan tetapi tidak ada pernah cerita guru yang dibunuh di Jayawijaya.  
Saya sendiri pernah hampir jadi korban pemalakan saat berkendara sepeda motor dari Wamena ke Distrik Piramid, distrik terjauh dan tempat di mana saya menjadi guru.

Saat dihadang dan hendak dipalak, saya langsung memperkenalkan diri sebagai guru yang bertugas di Piramid. “Aaeeeeee....mintaaa maaf pak guruu,” kata mereka sambil menggaruk-garuk kepalanya dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
 
Selain mengajar, kami juga mengadakan kegiatan di bidang pendidikan atau di bidang lainnya. Seperti, peringatan HUT kota Wamena pada 10 Desembere 2015, Maulid Nabi Muhammad SAW, Natal SM-3T se-Kabupaten Jayawijaya, Pekan Generasi Emas Jayawijaya tahun 2016 dan Gerakan Donasi 1001 Seragam untuk Papua. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER