Setelah Hari Antikorupsi, Apa yang Perlu Kita Benahi?

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Kamis, 14 Des 2017 12:26 WIB
Indeks persepsi korupsi di Indonesia masih terbilang sangat korup. Sedang KPK sendiri diserang di sana-sini. Bagaimana nasib pemberantasan korupsi?
Ilustrasi (Foto: Adhi Wicaksono/CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hari Anti Korupsi Internasional atau yang kerap disebut Hari Anti Korupsi Sedunia jatuh pada tanggal 9 Desember setiap tahunnya dan dirayakan oleh berbagai negara di seluruh belahan dunia. Peringatan ini bermula saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setuju untuk melaksanakan sebuah Konvensi Anti Korupsi (United Nations Conventions Against Corruption) pada tanggal 31 Oktober 2003 di Meksiko.

Dalam rangka melakukan refleksi bagi seluruh pihak (baik pemerintah, sektor swasta, organisasi non-pemerintah, media dan seluruh masyarakat di dunia) dan guna meningkatkan kesadaran akan bahaya korupsi serta bersama-sama bersinergi dalam mencegah dan memerangi korupsi, maka melalui resolusi 58/4, majelis secara resmi menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Internasional.

Dan setahun setelah dilaksanakannya United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC), tepatnya pada tanggal 9 Desember 2004, Pemerintah Indonesia pun secara resmi ikut menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi yang diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Korupsi kerap diibaratkan seperti fenomena gunung es di mana kondisi yang terjadi di bawah permukaan jauh lebih banyak dan kronis daripada yang terlihat di luar. Korupsi merupakan sebuah penyakit yang harus diberantas bersama hingga ke akar-akarnya. Karena pemberantasan korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri, harus ada upaya saling mendukung dan disertai dengan komitmen yang kuat dari seluruh komponen bangsa.

Dengan mempertimbangkan kondisi ketidakbecusan lembaga penegak hukum pada saat itu dan guna membasmi praktik korupsi yang makin tumbuh subur di Tanah Air, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya resmi dibentuk pada tahun 2002. Keberadaan KPK di mata masyarakat layaknya oase di tengah gurun pasir yang gersang. KPK hadir sebagai bentuk kepedulian untuk keberlanjutan bangsa ini di tengah maraknya kasus korupsi yang terjadi dalam berbagai sektor.

Dilansir dari data Corruption Perceptions Index (CPI) yang diterbitkan oleh Transparency International untuk tahun 2016, tingkat korupsi sektor publik di Indonesia berada pada peringkat ke-90 di dunia dengan skor 37 dari skala 0 (sangat korup) sampai dengan 100 (sangat bersih). Diketahui bahwa rata-rata indeks korupsi di Indonesia berkisar pada skor 25,28 sejak tahun 1995 hingga 2016, dengan capaian tertinggi pada poin 37 untuk tahun 2016 dan terendah pada poin 17 untuk tahun 1999.

Bukan track record yang baik tentunya. Masih banyak yang perlu dibenahi agar praktik korupsi dapat dibasmi secara menyeluruh di negeri ini.

Selain itu, berdasarkan Laporan Tahunan 2016 KPK, modus korupsi dalam pemerintahan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 6 (enam) bagian, yaitu 79 persen dalam bentuk penyuapan, 1 persen perizinan, 14 persen pengadaan barang/jasa, 3 persen TPPU, 1 persen pungutan, dan 1 persen penyalahgunaan anggaran.

Sedangkan jika mengacu pada instansi, perkara tindak pidana korupsi sebesar 39 persen banyak dilakukan oleh kementerian, 21 persen oleh pemerintah kabupaten/kota, 15 persen oleh DPR RI, 13 persen oleh pemerintah provinsi, dan 11 persen oleh MPR RI. Sungguh sangat menyedihkan jika mengingat kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada para wakilnya malah disalahgunakan dalam bentuk korupsi.

Sejak dibentuk, KPK sebagai lembaga independen yang diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan ini, telah berkali-kali menghadapi ancaman pembekuan dan pembubaran dari berbagai pihak.

Berbagai upaya terus dilakukan para oknum untuk melemahkan KPK dalam menjalankan tugasnya. Kelemahan-kelemahan KPK dijadikan sasaran empuk oleh para koruptor untuk menembak balik, baik secara personal maupun kelembagaan KPK. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Perlu ada perhatian khusus dari pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif yang mewakili seluruh aspirasi rakyat Indonesia dalam rangka menjaga eksistensi KPK. Jika KPK dibubarkan apa artinya perjuangan gerakan mahasiswa yang dilakukan pada tahun 1998 dan berbagai gerakan rakyat lainnya yang menghendaki pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri ini?

Selain pemerintah, kita, rakyat Indonesia, harus ikut aktif bersuara dan saling berpegangan tangan untuk melindungi KPK dari tangan usil para pihak yang ingin menghancurkan upaya memerangi dan memberantas korupsi yang telah dibangun dengan susah payah.

Oleh karena itu, masih dalam semangat Hari Anti Korupsi Internasional 2017 yang baru saja dirayakan beberapa hari lalu, mari kita kembali merenungkan negara seperti apa yang kita ingin berikan kepada anak cucu kita di masa depan?

Apakah kita rela melihat mereka tumbuh dalam situasi negara yang carut-marut dengan kasus korupsi di sana-sini? Apakah kita bangga terus-terusan dicap sebagai salah satu negara paling korup di dunia? Mari bahu-membahu, bergotong-royong, dan saling membantu agar Indonesia bebas korupsi. Kita Anti Korupsi, Kita Lawan Korupsi!

Fitri Irka Wahyu Niansyah
Mahasiswa Diploma IV Akuntansi Alih Program
Politeknik Keuangan Negara STAN (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER