Jakarta, CNN Indonesia -- Siang itu, matahari bersinar terik. Saya berjalan melewati hiruk pikuk keramaian di halaman Masjid Alun-Alun Bandung. Sejak direnovasi pada 2014 lalu, Masjid Alun-Alun Bandung menjadi jauh lebih ramai. Saya terus berjalan hingga sampai di bagian belakang. Di seberang jalan, ada sebuah tempat bertembok putih, dengan pagar cokelat di bagian tengah. Saya menoleh ke kanan, hanya untuk memastikan para pengendara itu melihat saya yang hendak menyeberang.
Sesampainya saya di seberang, saya langsung disambut oleh kolam kecil yang dihiasi dengan batu berbentuk kura-kura. Menoleh sedikit saja ke kanan, saya bisa menemukan wajah-wajah mantan Wali Kota Bandung yang tercetak di tembok putih. Menoleh ke kiri, saya temukan kolam kecil yang sama dengan wajah Wali Kota Bandung di periode berbeda.
Saya memutuskan untuk mengayunkan langkah ke gerbang cokelat yang sedikit terbuka. Celah itu cukup untuk memperlihatkan sebuah taman hijau yang cukup luas. Begitu melewati batas pagar, seorang satpam menyapa saya dengan ramah.
“Maaf neng, boleh minta KTP-nya?” begitu pintanya. KTP itu adalah sebagai jaminan saya tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar aturan. “Ini nanti bisa diambil lagi pas mau pulang,” ujar satpam yang ternyata bernama Rony itu. Ia menyimpan KTP saya bersama tumpukan KTP di atas meja.
Saya langsung disambut oleh rumput hijau dengan dua kolam kecil cantik di bagian depan. Matahari yang sebelumnya terik, tiba-tiba berubah teduh. Ini pasti ulah tiga pohon besar di taman dan pohon-pohon besar lain di bagian samping.
Dua pohon besar di bagian kanan dan kiri taman berdiri kokoh, ditemani dengan kursi kayu di bawahnya. Lapangan rumput itu, adalah halaman dari Pendopo Wali Kota Bandung. Sepi, tetapi tidak sunyi.
Menurut Rony, pengunjung Pendopo Wali Kota Bandung sudah jauh berkurang dari saat awal pembukaannya pada akhir 2016 lalu. “Sekarang sih udah berkurang, ya. Kalau dulu pas pertama dibuka banyak pengunjungnya. Mungkin sekarang udah pada nggak penasaran lagi,” kata Rony yang sudah bertugas jauh sebelum Pendopo Wali Kota Bandung dibuka untuk umum.
Sesekali terdengar gelak tawa dari anak-anak yang terlihat riang bermain. Anak-anak itu berlarian di tengah rumput hijau. Sesekali mereka berhenti untuk menyapa anjing yang tertidur dengan leher terikat rantai, atau menyapa ikan yang sedang bercengkrama di kolam. Sementara itu ibu-ibu mereka, terlihat sedang duduk santai di bawah pohon rindang. Mengobrol dengan asyiknya, sembari beberapa kali berswafoto.
“Tamannya tuh enak ya bisa dipakai foto-foto, enak dipakai ngobrol. Sejuk gitulah,” ujar Heni, diiyakan oleh Kini yang berada di sampingnya. “Kalau di alun-alun kan banyak dikunjungi orang, ya. Jadi suasananya terlalu ramai.”
Tak hanya ibu-ibu yang sudah berkeluarga saja yang asik berfoto. Anak-anak muda pun menikmati pemandangan di Pendopo Wali Kota Bandung dan beberapa kali mencari spot yang tepat untuk berfoto.
Salah satu spot yang cukup laris dijadikan tempat berfoto ada di bagian ujung taman yang lain, dimana terdapat lonceng peninggalan Belanda. “Itu sebenarnya yang asli cuma satu, neng, yang sebelah kiri aja. Itu yang kanan dibuat replikanya biar seimbang,” pak Rony sedikit berkisah pada saya. Lonceng itu sering dibumbui dengan kisah-kisah seram. Mungkin, karena arti tulisan sansekerta di atasnya adalah ‘Tidak boleh dibunyikan’.
Setelah melewati lapangan rumput, Aula Pendopo Wali Kota Bandung bisa kita lihat dengan jelas. Aula ini acap kali digunakan untuk acara-acara tertentu. Acara-acara yang dilaksanakan di hari Senin – Jumat, saat Pendopo Wali Kota Bandung ini ditutup untuk umum.
Ya, Pendopo Wali Kota Bandung memang hanya bisa dimasuki oleh masyarakat umum pada akhir pekan saja. Pendopo Wali Kota Bandung dibuka pada pukul 09.00 – 12.00 WIB dan pukul 13.30 – 16.00 WIB.
Di aula itu, terdapat seorang ibu yang sedang duduk santai di atas lantai. Kantong plastik belanjaannya ia biarkan teronggok begitu saja. Sesekali ia memperingatkan anaknya untuk berhati-hati dalam bermain.
Ia adalah Nikmah, seorang wanita yang dulu sempat tinggal di Bandung selama beberapa tahun. Ia kini tinggal di Kota Tangerang bersama keluarga kecilnya. “Tadi abis dari jalan itu (Dalem Kaum), buat belanja. Pas jalan kesini, liat gerbangnya kebuka. Ya sudah coba masuk saja, ternyata boleh,” ujar wanita yang biasa dipanggil Ninik itu.
Setelah masuk, Ninik merasa nyaman karena sejuknya. Ia pun memutuskan untuk duduk sejenak menikmati angin sepoi-sepoi, sambil memerhatikan anaknya berlarian. “Kalau di Tangerang kan tempat nongkrongnya terbatas. Paling dari rumah ke mal. Sementara anak saya laki-laki, jadi terbatas pergerakannya,” kata Ninik, memuji wisata taman yang mulai menjamur di Kota Bandung.
Pendopo Wali Kota Bandung tidak hanya diminati karena sejuk dan nyamannya saja. Putri, seorang siswi BPK 1 Bandung mengatakan bahwa ia mengunjungi Pendopo Wali Kota Bandung karena tertarik dengan tempat-tempat bersejarah. “Ini kan tempat wali kota, tempat bersejarah juga. Jadi ya penasaran pengen masuk, mumpung dibuka buat umum juga,” katanya sambil tertawa.
Tak hanya Putri yang memiliki ketertarikan seperti itu. Harry G. Harris, Direktur Hearthcare California, tertarik untuk menjadikan Pendopo Wali Kota Bandung sebagai destinasi wisatanya selama ia berkunjung ke Kota Bandung.
Setelah memasuki area Pendopo Wali Kota Bandung, Harry segera dibuat kagum oleh arsitektur Pendopo Wali Kota Bandung yang mampu memadukan bangunan sejarah dengan modern. “(I interested by) the historical, cultural, art.” ujarnya dengan tegas.
Saya mengakhiri tur saya di Pendopo Wali Kota Bandung. Begitu keluar dari gerbang, hawa panas langsung menyergap. Polusi dari kendaraan bermotor langsung menyerbu. Ah, seandainya Kota Bandung bisa sesejuk di Pendopo Wali Kota Bandung.
(ded/ded)