Senyum merekah di bibir Ali Moertopo, lelaki tangan kanan Presiden Soeharto dan Tan Sri Ghazali Shafie, orang kepercayaan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak.
Selaku opsir intelijen, mereka berdua berhasil memadamkan api konfrontasi antara dua negara yang sudah berlangsung empat tahun lamanya. Tentunya melalui beberapa kali perundingan rahasia pada awal 1966. Khas pertemuan para agen telik sandi.
Pada 28 Mei 1966, sebuah perundingan akhir kemudian digelar di ibu Kota Thailand Bangkok, antara Indonesia dengan Kerajaan Malaysia.
Hadir sebagai wakil yakni Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik dan Perdana Malaysia, Tunku Abdul Rahman. Hasilnya, kekerasan berakhir pada Juni dan sebuah perjanjian damai ditandatangani pada 11 Agustus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Secara resmi konfrontasi berakhir pada 1967,” kata Aloysius Sugianto, seorang opsir operasi khusus –sebuah organisasi intelijen bentukan Ali Moertopo pada era awal orde baru- yang menceritakan kronologi perdamaian konfrontasi kepada CNNIndonesia. “Dalam proses itu, Ali sempat mengemukakan perlunya organisasi yang menaungi kawasan Asia Tenggara.”
Pernyataan Aloysius diperkuat dengan sebuah keterangan dalam biografi Ali Moertopo yang ditulis M. Aref Rahmat.
“Ali Moertopo dinilai memiliki andil besar pada usaha- usaha membentuk Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN),” tulis Aref.
Dalam edisi khusus Ali Moertopo yang ditulis Majalah Tempo, atas arahan Soeharto, dua pejabat tinggi orde baru yakni Ali Moertopo dan Adam Malik bertolak untuk menyelesaikan kontrak perdamaian dengan Malaysia di Bangkok.
Kala itu, Ali yang memang berperan dominan mengusulkan peluang untuk membentuk sebuah organisasi regional yang bertujuan menjaga agar tidak lagi terjadi konfrontasi antara negara di wilayah Asia Tenggara, seperti yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia.
Rupanya ide itu disambut baik oleh lima negara, yang belakangan diklaim sebagai negara pendiri ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand berdasarkan deklarasi Bangkok pada 8 Agustus 1967.
Dituliskan, dalam edisi khusus Ali Moertopo yang ditulis Majalah Tempo, kala itu Ali memerintahkan Ventje Sumual –seorang perwira menengah yang pernah menjadi tahanan politik pemberontakan PRRI/Permesta- untuk menelpon Jenderal Vargas dari Filipina. Setelah itu, Ventje kemudian disambungkan dengan Menteri Luar Negeri Filipina, Carlos Romulo.
Setelah ditetapkan hatinya oleh Vargas, sang menteri akhirnya bersetuju untuk membentuk ASEAN meski tak bisa hadir di Bangkok. Sejak saat itu, berkat tangan Ali dan timnya, lahirlah ASEAN.
Secuplik kisah ini merupakan klaim dari beberapa orang saksi yang mata yang kebetulan dekat dengan kehidupan Ali Moertopo.
Aloysius Sugianto sempat berseloroh jika Ali sebenarnya yang hendak ditunjuk menjadi pemimpin ASEAN yang pertama. Namun, Ali menolak sebab terkendala bahasa dan meminta Adam Malik menjalankan tugas itu.