Layaknya hubungan pertemanan, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, ASEAN, juga mengalami masa suka dan duka sejak dideklarasikan pada 8 Agustus 1967.
Selama 47 tahun selain kerjasama yang terjalin, sejarah mencatat pula beberapa konflik antar sesama anggotanya.
Sengketa Laut Cina Selatan adalah isu paling sensitif antar negara ASEAN saat ini. Salah satunya adalah kepulauan Spartly yang diperebutkan oleh Brunei Darussalam, Filipina dan Malaysia, serta Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia sebagai salah satu pencetus ASEAN berusaha berperan aktif dalam konflik-konflik wilayah tersebut. Kementerian Luar Negeri Indonesia mengklaim pencapaian diplomasi Indonesia atas konflik Laut Cina Selatan yang paling berhasil ialah kesepakatan perjanjian antara Cina dan ASEAN dalam pertemuan di Bali pada 2011.
Hasil diplomasi tersebut mendasari pembentukan Code of Conduct (CoC) yang akan berfungsi sebagai mekanisme operasional pencegahan konflik Laut Cina Selatan.
Hingga saat ini CoC masih terus diperjuangkan untuk menjadi aturan pengelolaan laut yang memang memiliki nilai ekonomis berpotensial itu.
“CoC Laut Cina Selatan masih dalam pembahasan di berbagai level. Negoisasi seperti itu tidak bisa terburu-buru, harus menunggu situasi di lapangan stabil, supaya kesalahpahaman tidak melebar,” kata Gusti Puja, Direktur Jendral Kerjasama ASEAN, pada perayaan ulang tahun ASEAN di Jakarta (18/08).
Sekretaris Jenderal ASEAN Le Luong Ninh mengatakan CoC akan lebih mengikat negara-negara yang terlibat.
“Kami berharap Cina dan ASEAN bisa mempercepat proses negosiasi sehingga bisa tercipta perdamaian dan stabilitas di wilayah,” kata Le Luong Ninh di Jakarta.
Perubahan peran
Sebelum sibuk berdiplomasi untuk konflik Laut Cina Selatan di era kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia disegani oleh para anggota ASEAN.
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan senioritas mantan presiden Indonesia tersebut merupakan faktor yang membuat Indonesia dihormati di wilayah Asia Tenggara.
Menurut Hikmahanto, Indonesia tidak lagi memiliki figur yang disegani setelah Soeharto lengser sehingga peran sebagai penengah konflik antar anggota merupakan strategi jitu Indonesia untuk kembali tampil di ASEAN.
“Mengenai konflik Indonesia dengan Singapura atau Malaysia, Indonesia yang sudah berperan sebagai ‘ketua kelas’ juga jangan kehilangan integritas, tetap harus tegas dan berpikiran jernih,” kata Hikmahanto.
Di bidang ekonomi, Hikmahanto menjelaskan, Indonesia dianggap sebagai roda penggerak industri dan bisnis di Asia Tenggara.
“Apalagi nanti saat dimulainya ASEAN Economic Community, AEC, banyak negara yang menggantungkan harapan di Indonesia,” jelas Hikmahanto.
Hikmahanto berharap pemerintah Indonesia yang baru mampu meneruskan peran yang saat ini sedang dilakukan.
“Pemimpin negara yang baru jangan melulu mengurusi masalah domestik. Keakraban dengan negara tetangga juga perlu dipupuk agar bisa terus berkompetensi secara sehat,” jelas Hikmahanto.