Jakarta, CNN Indonesia --
Perdana Menteri Inggris David Cameron memerintahkan polisi untuk menyita paspor warga yang ditengarai akan pergi untuk mendukung Negara Islam Irak dan Suriah, ISIS.
"Paspor bukan hak yang bersifat otomatis. Kami akan memperkenalkan undang-undang khusus dan terarah untuk mengisi celah ini dengan memberikan polisi kekuatan sementara untuk menyita paspor di perbatasan, untuk memberi waktu menyelidiki orang yang dicurigai," kata Cameron pada rapat parlemen Senin (1/9). Cameron juga menyatakan langkah untuk menyiapkan undang-undang ini akan dimulai secepatnya. "Kekuatan peraturan ini termasuk pengamanan layak dan pengaturan pengamanan." Selain mencegah calon anggota ISIS keluar negeri, menurut Cameron Inggris perlu mencari cara untuk mencegah teroris dari luar negeri kembali masuk ke negara itu.
Diperkirakan ada 500 warga Inggris berangkat ke Suriah dan Irak untuk bertempur bersama kelompok Islamis.
"Sangat mengerikan jika orang-orang yang sudah mengaku membela negara lain bisa kembali ke Inggris dan membahayakan keamanan nasional," kata Cameron pada parlemen. Cameron menyatakan, peraturan penerbangan yang sudah ada saat ini juga akan dimasukkan ke dalam undang-undang yang akan disusun tersebut. "Maskapai penerbangan harus menaati daftar larang-terbang yang kami terapkan, memberi informasi daftar penumpang, dan mentaati persyaratan penyaringan keamanan. Jika menolak mentaati, penerbangan mereka tidak boleh mendarat di Inggris," ujar Cameron. Selain menyita paspor, Inggris juga akan mengeluarkan peraturan baru tentang batasan-batasan yang akan diterapkan kepada tersangka teroris, seperti pembatasan perjalanan, pergerakan, perkumpulan, komunikasi, keuangan, pekerjaan, pendidikan, dan pelacakan dengan GPS serta kewajiban lapor.
Inggris juga telah menaikkan tingkat ancaman teror mereka, dari "kuat" menjadi "genting", atau tingkat keempat dari lima tingkat ancaman.
"Artinya serangan teroris sangat mungkin terjadi, tapi tidak ada informasi yang memastikan kemungkinan itu," kata Menteri Dalam Negeri Inggris Theresa May.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT