POLITIK EROPA

Geliat Partai Sayap Kanan Eropa

CNN Indonesia
Selasa, 02 Sep 2014 15:44 WIB
Partai sayap kanan Eropa semakin menunjukkan taringnya beberapa tahun belakangan. Dengan "jualan" anti-imigran dan anti-Uni Eropa, mereka berhasil menjaring pendukung yang tidak sedikit.
Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa tahun ini terjadi peningkatan dalam dukungan warga negara-negara Eropa terhadap paham nasionalis-ekstrem anti imigran asing yang tergambar dalam perolehan suara signifikan partai-partai sayap kanan.

Partai sayap kanan meraih suara yang signifikan di Prancis, Inggris, Denmark dan Austria.

Partai-partai ini "jualan" nasionalisme, salah satu bentuknya adalah anti imigran asing, terutama dari negara-negara Timur Tengah, dan diwujudkan dengan mendorong pengetatan penjagaan perbatasan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut mereka, imigran adalah salah satu penyebab langkanya lapangan pekerjaan bagi penduduk asli.

Mereka juga menolak integrasi Eropa yang menurut mereka telah melemahkan potensi dalam negeri.

Salah satunya fenonema ini yang paling mengejutkan adalah kemenangan Partai Front Nasional, FN, pimpinan Marine Le Pen di Prancis, pada pemilu parlemen Mei lalu, atas partai-partai besar seperti UMP dan Partai Sosialis.

Kemenangan ini oleh Perdana Menteri Prancis Manuel Valls, petinggi Partai Sosialis, dimaknai sebagai sebuah peringatan atau ancaman.

"Lebih dari peringatan. Ini adalah kejutan, sebuah gempa bumi," kata Valls.

FN mendapatkan lebih dari 25 persen suara, yang menurut Le Pen cerminan dari jengahnya masyarakat terhadap Uni Eropa, krisis ekonomi dan sebagai tanda bangkitnya gelombang baru nasionalisme.

"Rakyat Prancis menderita akibat pemotongan upah, pengangguran, dan masalah sosial. Tapi pemerintah kita tuli dari tangisan rakyat," kata Le Pen.

FN adalah partai sayap kanan dengan perolehan suara terbesar dalam pemilihan umum yang digelar hampir serentak di 21 dari 28 negara anggota Uni Eropa Mei lalu.
Di Denmark, partai sayap kanan, Rakyat Denmark, menang dengan hampir 27 persen suara dalam pemilu lalu.

Pendiri partai tersebut Pia Kjarsgaard, mengatakan bahwa Denmark bukanlah negara yang menyambut baik imigran, yang menurutnya adalah sumber masalah.

"Jika ingin mengubah Stockholm, Gothenburg atau Malmo menjadi Beirut-nya Skandinavia, dengan perang antar klan, pembunuhan dan perkosaan massal, maka biarkan (imigran masuk). Kita akan pasang penghalang di Jembatan Oresund," kata Kjarsgaard.

Sementara di Belanda Partai Kebebasan yang dipimpin Geert Wilders menuai kekecewaan karena mendapatkan suara yang kecil, namun tetap saja mereka punya orang di parlemen.

Siapa yang tidak kenal Wilders,  tokoh kontroversial dengan komentarnya yang anti-Islam, bahkan pada tahun 2008 dia pernah membuat film yang memicu kemarahan Muslim dunia berjudul Fitna.

"Islam adalah Kuda Troya di Eropa. Jika kita tidak menghentikan Islamisasi sekarang, Eurabia atau Netherabia tinggal menunggu waktu," kata Wilders. Eurabia berarti Europe-Arabia dan Neterabia adalah Neterland-Arabia, istilah yang memilki makna Islamofobia.

Kehadiran partai-partai sayap kanan di parlemen Eropa memang tidak signifikan dibandingkan dengan kubu ideologi politik pro-Uni Eropa lainnya, namun menurut ahli politik Eropa dan Universitas Surrey, Simon Usherwood, dalam lima tahun ke depan partai-partai ini akan semakin berkembang dan kuat.

"Mereka memang tidak mampu menghentikan pembentukan peraturan. Tapi mereka punya ruang untuk berdebat, menjadi ketua komisi tertentu yang artinya memiliki panggung untuk menjual pesan mereka pada para pemilih," kata Usherwood.

Menurut Ashton Gaffney, Professor Politik di Universitas Aston, kebangkitan partai sayap kanan adalah bentuk kekecewaan masyarakat terhadap Uni Eropa yang menurut mereka telah mengabaikan perekonomian sehingga banyak muncul pengangguran dan krisis ekonomi

Partai pro-Uni Eropa juga menurutnya gagal menanamkan nilai-nilai Eropa di masyarakat, sebaliknya kelompok anti-Uni Eropa punya banyak "nyanyian" dan "penyanyi" dalam menyampaikan gagasan-gagasan mereka.

"Kegagalan retoris pro-Uni Eropa dalam memanfaatkan potensi budaya menurut idealisme Eropa mungkin adalah kegagalan terbesar mereka. Pro-Eropa sekarang butuh kebijakan yang riil, juga beberapa "lagu bagus (dan penyanyi) untuk mengambil hati populasinya," kata Gaffney yang dikutip dari tulisannya di situs The London School of Economics and Political Science.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER