Jakarta, CNN Indonesia -- Bahaya tugas wartawan di medan perang tergambarkan dengan jelas oleh kematian dua pekerja media asal Amerika Serikat, James Foley dan Steven Sotloff di tangah militan Negara Islam Irak dan Suriah, ISIS.
Teguh Edi Pramono, wartawan asal Indonesia yang sempat bertugas di Aleppo, Suriah, mengatakan seharusnya nyawa adalah sesuatu yang harus dijaga saat meliput, tidak bisa dibayar dengan berita apa pun, artinya, tidak ada berita seharga nyawa.
"Kami memang berdedikasi melaporkan apa saja yang terjadi di sana. Kami mencari apa saja yang menarik dari sana. Tapi bagaimanapun keselamatan adalah yang paling utama," kata wartawan Tempo pemenang penghargaan AFP ini kepada CNN Indonesia (5/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat meliput konflik di Aleppo pada akhir 2012, pria yang akrab disapa Pram ini mengikuti kelompok pemberontak selama kurang lebih dua minggu.
"Rasa ngeri itu pasti. Apalagi karena saya pertama kali bertugas di daerah konflik," kata dia.
Pram menceritakan, dia berada cukup dekat dengan wilayah baku tembak, namun dia tidak boleh terlalu dekat karena terlalu berbahaya.
"Saya mengikuti saja apa yang diperintahkan. Karena bagaimanapun keselamatan paling penting," ujar dia.
Kelompok pemberontak menerima dia dengan baik selama bertugas di sana, oleh karena itu dia berusaha semampunya menjaga perasaan para tuan rumah dengan berusaha tidak memaksakan kehendak.
"Saya sempat tegang karena saya bukan Muslim dan harus bergabung dengan pemberontak Muslim. Tapi ternyata itu bukan masalah buat mereka," kata dia. "Yang menegangkan lagi adalah ledakan mortir yang terjadi hampir setiap menit. Kadang di bawah satu menit ada beberapa ledakan."
Menurut data lembaga Committee to Protect Journalists, CPJ, sedikitnya 70 wartawan tewas saat meliput di Suriah; lebih dari 80 wartawan diculik, dan sekitar 20 lainnya hilang tanpa jejak, menjadikan negara ini wilayah paling berbahaya untuk pekerja media.
Foley dan Sotloff tewas dipenggal oleh militan ISIS dan eksekusi itu direkam serta dipublikasikan di internet.
Pram mengatakan bahwa peningkatan jumlah wartawan diculik kemungkinan karena mereka kurang menghargai para pemberontak dan tidak mengikuti budaya mereka atau terlalu memaksa ketika berusaha mencari informasi dari para pemberontak.
Namun, dalam kasus pemenggalan wartawan oleh ISIS, Pram mengatakan ada kemungkinan kelompok itu memang mengincar warga negara Amerika Serikat sehingga wartawan kulit putih lebih rentan jadi korban penculikan.
"Kalau saya sendiri termasuk beruntung karena saya berasal dari Asia. Saya bagian dari masyarakat yang banyak orang muslim. Saya juga mencoba mengikuti budaya mereka, saya mengucapkan Assalamualaikum ketika memasuki ruangan, dan tidak makan jika tidak ditawarkan," kata Pram.
Pram juga menceritakan, dia sempat dianggap keluarga oleh salah seorang anggota pemberontak yang menjadi pemandu atau fixer di Suriah.
Menurut dia, dengan pendekatan yang lebih lembut, wartawan bisa lebih aman jika harus berinteraksi dengan para pemberontak.
"Saya lihat mereka sebenarnya orang baik-baik, walaupun tidak semuanya. Pada dasarnya mereka ramah. Hanya saja karena situasinya sedang perang ceritanya jadi berbeda," jelas Pram.