Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Konflik bersenjata tidak menyurutkan semangat mahasiswa Indonesia untuk menimba ilmu di Yaman. Saat pertama kali datang ke negara itu, mahasiswa Indonesia bisa jadi kaget melihat senjata yang bebas ditenteng kemana saja. Namun, rasa haus akan ilmu agama memaksa mereka tetap bertahan di negara tersebut.
Berikut kisah Ahmad, mahasiswa Universitas Yemenia yang pernah tinggal selama delapan tahun di negara itu:Yaman adalah negara yang mempunyai reputasi pengajaran pesantren yang sangat baik. Dibandingkan negara timur tengah lain, sebagian besar daerah di Yaman masih sangat jauh dari sentuhan dunia modern dan penerapan budaya dan agama Islam masih sangat kuat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para ulama asal Yaman terkenal ahli dalam bidang kajian Islam, dan Bahasa Arab di Yaman merupakan yang bahasa yang paling dekat dengan bahasa Arab Fusha yang strukturis.
Meninggalkan kampung halaman saya di Tuban, saya pertama kali menginjakkan kaki di Yaman pada tahun 2004. Ketika itu saya terkejut karena Yaman seperti negara yang sangat tertinggal. Kondisi Yaman saat itu tak ubahnya seperti Indonesia di era 1960-an. Mayoritas wilayah Yaman terdiri dari padang pasir dan pegunungan yang gersang.
Ketika itu, ada desir ketakutan ketika saya melihat bahwa senjata berapi dapat beredar bebas di negara itu, dan semua warga sipil membawa senjata AK 47, termasuk anak-anak.
Namun, setelah beradaptasi saya merasa nyaman dan bahkan sering ikut latihan menembak.
Senjata mengarah ke leher kami selama 20 menit.Ahmad, mahasiswa Indonesia di Yaman. |
Ada satu kejadian yang paling membekas di hati saya ketika menempuh studi di Yaman. Suatu hari, saya dan beberapa kawan dari Indonesia serta penduduk lokal mengunjungi rumah teman kami yang berada di Wadi Rukhyah, Propinsi Hadramaut.
Saat itu kami tidak tahu bahwa lokasi ini telah lama dikenal sebagai basis kelompok Islam radikal, Anshar Sharia, atau dikenal juga dengan Al-Qaidah di Semenanjung Arab, AQAP.
Ketika melewati suatu daerah itu, kendaraan kami dihentikan dan bahkan ditembaki. Kami dipaksa keluar dari mobil dan diperiksa dengan posisi tiarap dan senjata mengarah ke leher selama 20 menit.
Saat itu, pejuang militan tersebut mengira kami adalah mata-mata Barat. Setelah mewawancara kami dan memeriksa barang bawaan kami, tuduhan itu tidak terbukti dan kami dibebaskan.
Kondisi yang terdengar mengerikan ini menjadi hal yang biasa ketika semakin lama tinggal di Yaman. Mayoritas warga atau pelajar di Yaman sudah terbiasa dengan situasi non kondusif, dan kondisi mental kami terbentuk dengan lingkungan konflik beragam, yang membuat kami terbiasa dengan isu politik dan keamanan.
Dalam pandangan saya, sejauh ini pemerintah Yaman belum berupaya maksimal dalam mengatasi krisis politik. Memang, berbagai upaya mencari solusi melalui dialog komperehensif telah dilakukan, namun tidak ada implementasi nyata dari hasil perundingan itu.
Saya teringat, ketika revolusi Arab bergejolak dan melibatkan Yaman, saya menuruti saran dari pemerintah Indonesia untuk pulang ke tanah air. Saat itu, banyak teman saya sesama mahasiswa dari Indonesia yang memilih bertahan di Yaman dengan pindah ke daerah yang relatif kondusif dan jauh dari daerah konflik.
 |
(REUTERS/Mohamed al-Sayaghi) |
Pulang atau tidak pulang hanyalah sebuah pilihan. Mereka yang tak pulang tak lantas bergabung dengan tentara militan Islam seperti yang ramai diberitakan.
Memang, Yaman dianggap sebagai basis gerakan kelompok Islam radikal paling besar saat ini. Kenyataan bahwa AQAP berbasis di Yaman memang merupakan bukti nyata bahwa negara ini merupakan salah satu ladang jihad bagi para militan.
Peredaran senjata bebas, lemahnya kontrol pemerintah, budaya suku yang kental, letak geografis dan kemiskinan menjadi faktor utama munculnya kelompok radikal.
Namun, sebagian besar pelajar Indonesia yang bergabung dengan kelompok ini sudah terpengaruh gerakan ini bahkan ketika mereka masih di tanah air dan belum datang ke Yaman.
Ketika tiba di Yaman, mereka ikut berlatih dengan tentara militan dan membangun jaringan dengan berbagai kelompok militan lain yang ada di sana.
Namun, saya juga tidak menampik bahwa ada sebagian kecil pelajar Indonesia yang terpengaruh bergabung dengan tentara militan ketika mereka sudah berada di Yaman, karena faktor lingkungan dan simpati terhadap isu kekerasan yang melibatkan nama Islam seperti Palestina.
Selama delapan tahun tinggal di Yaman, saya pernah bersinggungan langsung dengan mereka, bahkan berteman dengan berbagai kelompok termasuk islam radikal baik dari Yaman sendiri maupun dari Indonesia. Berteman dengan mereka memerlukan proses yang bertahap.
Saya tahu perkumpulan pelajar Indonesia yang berafiliasi dengan kelompok militan di Yaman, namun tidak bisa saya sebutkan dalam tulisan ini.
(stu)