ANCAMAN TERORISME

Penculikan dan Tebusan Kian Jadi Tren

CNN Indonesia
Jumat, 17 Okt 2014 17:29 WIB
Kebijakan Amerika Serikat dan Inggris adalah menolak segala bentuk tuntutan tebusan dari teroris yang menculik warga mereka. Akibatnya, nyawa-nyawa melayang.
ISIS meminta uang tebusan sebesar US$132 juta untuk James Foley (REUTERS/SITE Intel Group)
Jakarta, CNN Indonesia --
Kelompok teroris baik di Suriah dan Irak seperti ISIS maupun di Filipina seperti Abu Sayyaf kini semakin gencar menggunakan strategi penculikan untuk tebusan, sebuah cara yang kian menjadi tren di kalangan kelompok radikal.

Beberapa negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris menolak untuk berkompromi dengan teroris, termasuk negosiasi dan memberikan tebusan sejumlah uang, yang akhirnya berujung pada terbunuhnya dua wartawan AS James Foley dan Steven Sotloff, dan seorang pekerja bantuan kemanusiaan Inggris Alan Henning.

Sejak lama, tidak bernegosiasi dengan teroris telah menjadi kebijakan luar negeri AS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berbicara di Chatham House, London, pada tahun 2012, David Cohen, direktur jenderal terorisme dan pendanaan intelijen di Kementerian Keuangan AS, menjelaskan alasannya.

"Pembayaran tebusan akan mengarahkan pada penculikan di masa depan. Lalu penculikan di masa depan mengarahkan pada naiknya jumlah tebusan. Dan ini akan membuat organisasi teroris dapat membangun kapasitas mereka untuk melancarkan serangan," kata Cohen.

Untuk Foley, ISIS dilaporkan meminta tebusan sebesar US$132 juta atau lebih dari Rp1,5 triliun pada pemerintah AS.

AS menganggap segala macam pemberian uang terhadap kelompok teroris, bahkan untuk membebaskan keluarga sendiri, adalah tindakan yang ilegal dan termasuk kriminal.

Al-Qaeda sejak tahun 2008 telah menghasilkan lebih dari US$125 juta dari uang tebusan, seperti dilaporkan New York Times, termasuk di antaranya US$66 juta pada tahun lalu.

Allan Henning, warga negara Inggris tewas di tangan ISIS setelah diculik saat menjadi relawan pemberi bantuan. (REUTERS/Henning family handout)
Perancis dan Swiss

Walaupun AS dan Inggris menolak membayar tebusan, tapi Perancis, Swiss, Spanyol dan negara-negara Eropa lainnya memilih menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk menyelamatkan warga mereka, walaupun hal ini dilakukan secara diam-diam dan tidak dipublikasikan pemerintah.

Menurut penyelidikan New York Times, Perancis adalah negara yang paling banyak membayar tebusan, yaitu sebesar US$58 juta sejak tahun 2008. Disusul dengan Swiss dengan US$12,4 juta dan Spanyol US$5,9 juta.

Sejak 2008, ada 17 warga Perancis yang disandera kelompok teroris. Sepuluh di antaranya dibebaskan dengan tebusan, empat dibunuh pelaku, dua tewas akibat sebab yang tidak jelas, dan seorang lagi masih disandera.

Sementara Spanyol telah membebaskan lima warga mereka yang disandera dengan membayar tebusan, Swiss tiga orang, Austria tiga orang dan Kanada dua orang.   

Sekarang cara serupa diterapkan Abu Sayyaf terhadap warga Jerman yang mereka culik, yaitu meminta tebusan sebesar US$5,6 juta atau lebih dari Rp67,8 miliar.

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan bahwa modus semacam ini akan terus menjadi tren yang digunakan militer bawah tanah di seluruh dunia.

"Hal ini akan membhayakan dalam beberapa tahun ke depan. Membahayakan dalam arti keamanan nasional masing-masing negara dan ideologi Islam, akan banyak yang menganggapnya barbar, padahal sangat berbeda. Strategi ini harus diantisipasi di Indonesia," kata Ridlwan kepada CNN Indonesia (18/10).

Untuk mengantisipasinya, Ridlwan mengaku telah berbicara dengan Menteri Agama Lukman Hakim agar melakukan dialog dengan kelompok-kelompok yang disinyalir memiliki paham radikal.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER