Jakarta, CNN Indonesia -- Sepeninggal Presiden Michael Sata atau yang dikenal dengan julukan Raja Kobra, pada Selasa (28/10), Zambia menunjuk Wakil Presiden Guy Scott yang berkulit putih sebagai kepala negara sementara.
Pelantikan Scott menandakan kali pertama negara di benua Afrika memiliki seorang pemimpin berkulit putih dalam dua puluh tahun terakhir, semenjak FW de Klerk yang berkulit putih digantikan oleh Nelson Mandela sebagai pemimpin Afrika Selatan pada 1994 silam, yang mengakhiri perseteruan apertheid.
"Pemilu akan dilaksanakan dalam kurun waktu 90 hari. Saya akan menjabat sebagai presiden sementara," ujar Scott dalam pidatonya di televisi, dikutip dari Reuters, Rabu (29/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Scott, 70 tahun, yang merupakan ahli ekonomi lulusan Universitas Cambridge, telah bertindak sebagai kepala negara sementara semenjak Sata dikabarkan sakit pada Juni lalu.
Scott akan memimpin Zambia hingga pemilu yang akan diadakan tiga bulan mendatang. Scott sendiri tak mungkin mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu tersebut karena berkulit putih.
Pengamat menilai Menteri Pertahanan Edgar Lungu dan Menteri Keuangan Alexander Chikwanda akan bersaing ketat memperebutkan suara pada pemilu mendatang untuk menjadi orang nomor satu di negara penghasil tembaga terbesar kedia di dunia itu.
Scott dikenal sebagai politisi Zambia yang kontroversial akibat menyebut Afrika Selatan sebagai negara yang mengalami kemunduran dalam wawancaranya dengan media Inggris, The Guardian, tahun lalu.
"Saya cinta warga Afrika Selatan, namun mereka menganggap diri mereka hebat, padahal mereka lah pembuat kekacauan di Afrika," ujar Scott.
Diterima dengan Hangat
Pelantikan Scott sebagai pempimpin sementara diterima dengan hangat oleh warga Zambia.
"Meskipun berkulit putih, dia memiliki semangat kulit hitam. Scott adalah bagian dari kami, kata Nathan Phiri, seorang pengemudi bus kepada Reuters.
Michael Sata, menjabat sebagai Presiden Zambia sejak memenangi pemilu pada 2011 lalu.
Sata dikenal presiden yang sering melontarkan komentar kasar dan menyakitkan, persis seperti bisa ular.
Sata populer dikalangan pekerja akibat vokal menyuarakan aspirasi dan hak pekerja, khususnya terhadap perlakuan perusahaan Tiongkok yang tidak adil terhadap pekerja tambang.
Sata menghilang dari publik, sejak dikabarkan sakit dan dirawat di Israel, Juni lalu.
Sata tak hadir dalam KTT PBB di New York pada September lalu. Namun, beberapa hari sebelumnya, dia menghadiri pembukaan parlemen di Lusanka, Zambia, dan membuka pidatonya dengan bercanda, "Saya belum mati."
Kondisi kesehatan Sata yang buruk kembali mencuat ke permukaan ketika dilarikan ke rumah sakit Rumah Sakit King Edward VII, London, oleh keluarganya Minggu (19/10) lalu.
Sata meninggal dunia pada usia 77 tahun pada Selasa (28/10). Hingga kini, pemerintah Zambia tidak mengungkap penyakit yang menyebabkan Sata meninggal dunia.