DISKRIMINASI RAS

Rohingya, Di Ambang Keputusasaan

CNN Indonesia
Rabu, 12 Nov 2014 12:37 WIB
Di Myanmar, etnis Rohingya hidup sebagai pengungsi, tak bisa berladang, maupun berdagang. Tak heran, etnis Rohingya mencari suaka di negeri orang.
PBB memperkirakan lebih dari 100.000 etnis Rohingya melarikan diri Myanmar karena tak mampu hidup dalam diskriminasi ras dan kekerasan etnis di Myanmar.(Reuters/Grandyos Zafna)
Yangon, CNN Indonesia -- Diskriminasi ras dan kekerasan sektarian terus menimpa kaum Rohingya. Ribuan etnis Rohingya yang hingga kini bertahan hidup di tenda pengungsian di Myanmar dibatasi untuk melakukan aktivitas.

Hal tersebut diungkapkan Pierre Peron, juru bicara PBB untuk Koordinasi Kemanusiaan di Myanmar. Pierre menyatakan sejak bentrokan maut antara etnis Rohingya dan umat Buddha terjadi di negara bagian Rakhine pada 2012, etnis Rohingya tak juga mampu memperbaiki kondisi hidup mereka.

"Ratusan ribu etnis Rohingya dilarang berladang, memancing di laut maupun berdagang," kata Pierre.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam beberapa pekan terakhir, PBB melaporkan setiap hari ratusan etnis Rohingya menjejalkan diri dalam sejumlah perahu kecil untuk lari dari Myanmar.

Mereka harus pasrah menjadi korban para penyelundup manusia yang menjanjikan mereka untuk keluar dari negara itu dan hidup lebih baik di Malaysia.

Mahmud Yacoub, tukang kayu yang sering mendapat pesanan perahu bagi para pencari suaka untuk keluar dari Myanmar menyatakan kepada CNN bahwa satu perahu berukuran 20 meter buatannya dapat menampung hingga 60 orang.

PBB memperkirakan lebih dari 100.000 etnis Rohingya melarikan diri Myanmar karena tak mampu hidup dalam diskriminasi ras dan kekerasan etnis di Myanmar, utamanya sejak kerusuhan sektarian meletus di negara bagian Rakhine pada musim panas 2012, yang menyebabkan 140.000 warga kehilangan tempat tinggal.

Dua tahun setelah bentrokan tersebut, pemerintah Myanmar memisahkan etnis Rohingya dengan etnis Rakhine lainnya. Etnis Rohingya terpaksa hidup tenda pengungsian di daerah pedesaan terpencil.

Selalu menjadi 'penduduk hantu'

"Rohingya tidak ada. Tidak akan pernah ada!", begitu seruan U Than Tun, anggota Pusat Koordinasi Darurat yang membantu mendistribusikan bantuan kemanusiaan untuk penduduk miskin dan tunawisma di desa Sittwe, salah satu lokasi bentrokan umat Buddha Rakhine dengan etnis Rohingya, dua tahun lalu.

Than Tun, yang berprofesi sebagai guru, menyatakan pendapat yang serupa dengan pemerintah Myanmar, bahwa mereka yang menyebut diri sebagai etnis Rohingya adalah pengungsi ilegal dari Bengal yang tak juga mendapatkan suaka.

"Kami akan usir setiap imigran Bengal dari tanah ini," kata Than Tun yang selalu menyebut etnis Rohingya dengan dengan sebutan 'imigran Bengal'.

Padahal, sebelum bentrokan maut terjadi di desa terpencil tersebut, warga Rohingya pernah hidup berdampingan dengan umat Buddha Rakhine.

Hingga kini, terlihat sejumlah bangunan mesjid yang hancur lebur di daerah tersebut dijaga ketat oleh polisi Myanmar.

Ketakutan Umat BuddhaPendapat serupa juga dilontarkan oleh bikshu Buddha senior U Kaymasara yang menyatakan bahwa kehadiran etnis Rohingya dan keturunannya akan mengancam populasi asli negara bagian Rakhine.

"Mungkin lebih baik jika mereka tidak di sini, karena satu keluarga Muslim bisa beranggotakan 82 orang, sementara keluarga Buddha Rakhine beranggotakan maksimum lima orang", kata U Kaymasara.

Padahal, menurut data statistik pemerintah Myanmar, populasi etnis Rohingya hanya sekitar sepertiga dari jumlah populasi di negara bagian Rakhine.

Sejak tahun 1962, pemerintah junta militer juga menolak memberi kewarganegaraan Burma kepada warga Rohingya dan menetapkan mereka sebagai warga Bengali dan tak bernegara.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER