Monrovia, CNN Indonesia -- Kegigihan, tanpa rasa takut, dan kepedulian yang tinggi mengantarkan tim medis penanganan Ebola di Afrika Barat memperoleh gelar Person of the Year versi majalah TIME.
Tidak hanya dokter, penghargaan juga diberikan pada suster dan tim cepat tanggap seperti para sopir ambulans. Seorang sopir ambulans bernama Foday Gallah bahkan terjangkit Ebola saat menangani seorang pasien. Namun itu tidak membuatnya patah arang.
TIME pada Rabu (10/12), mengulas kisah pria 37 tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gallah adalah pengawas pelayanan ambulans di Distrik Saa Joseph, Monrovia, Liberia, saat dia dipanggil untuk membawa korban Ebola. Dia mengaku sangat ketakutan walaupun telah diberikan pelatihan sebelumnya oleh pemerintah April lalu.
Setiap harinya mereka mengangkut 50-60 pasien setiap hari. Setiap kali selesai mengantar pasien, ada panggilan baru. Bahkan satu kali, dia mengangkut 10 pasien sekaligus dalam ambulansnya.
Dia terjangkit Ebola saat berusaha menolong sebuah keluarga yang terdiri dari delapan orang. Pertama dia mengantarkan ibu, adiknya, dan seorang putranya ke rumah sakit karena ebola. Seminggu kemudian, mereka semua meninggal.
Lalu tiga hari kemudian dia harus menjemput ayah di keluarga itu, nenek, dan dua putra terjangkit Ebola. Semuanya akhirnya meninggal. Tinggal seorang bocah di keluarga itu yang tidak menunjukkan gejala Ebola.
Kemudian bocah itu juga terjangkit Ebola. Saat Gallah datang, bocah itu terbaring bersimbah muntahnya sendiri, lemah akibat dehidrasi. Gallah lantas mengenakan pakaian pelindungnya, namun dia mengatakan kemungkinan ada kebocoran di pakaian itu.
"Saya saat itu tidak memikirkan bahwa muntah itu atau cairan lainnya bisa masuk ke dalam pakaian, dan kemungkinan saya terinfeksi. Saya hanya ingin menyelamatkan dia," kata Gallah.
Panas tinggiDua hari kemudian dia mulai demam dan sakit kepala parah. Dalam tes medis, dia positif Ebola.
Gallah berangsur-angsur membaik setelah menjalani perawatan intensif di ruang isolasi korban Ebola. Namun dia mengatakan, pengalaman terkena Ebola tidak akan pernah dilupakannya.
Sakitnya sangat hebat, bahkan efeknya masih bisa dirasakan hingga kini.
"Saat mereka memberikan obat, sakitnya dua kali lipat. Seluruh badan ngilu, sendi sakit, pusing, keram perut. Sakit kepala seperti dihantam palu ratusan kilogram. Sampai tiga atau empat hari, sakitnya mereda. Dan sampai saya duduk dan berbicara dengan anda, pusingnya masih sedikit ada," kata Gallah.
Gallah memang menderita, namun dia senang bisa mengantarkan bocah yang menularkannya Ebola ke rumah sakit. Bocah yang tinggal sebatang kara itu juga selamat dan sehat hingga saat ini.
"Saya tidak menyesal menjemput dia, karena saya mendoakan keselamatannya. Saya ingin dia hidup. Dan saat ini dia hidup," ujar Gallah.
Pengalaman ini tidak membuatnya lemah dan meninggalkan pekerjaannya sebagai sopir ambulans. Justru Gallah makin semangat menjalani perannya sebagai salah satu mata rantai penyelamat pasien Ebola.
"Saya akan menyusuri tiap gang di ibukota, menjemput siapapun pasien Ebola dan membawa mereka, memberikan mereka kata-kata harapan dan dorongan. Saya bisa mengajari masyarakat soal Ebola, bahkan Ebola bukan berarti hukuman mati," tegas Gallah.
Menurut perhitungan resmi, saat ini sudah lebih dari 17.800 orang yang terinfeksi Ebola dan lebih dari 6.300 orang tewas sejak penyakit ini menyebar dari Guinea pada Desember 2013.
Baca juga:
Tim Penanganan Ebola Terpilih Tokoh TIME 2014Kisah Dokter Pahlawan Ebola Versi Majalah TIME