Bangkok, CNN Indonesia -- Satu dekade telah berlalu ketika tsunami menerjang pantai Laut Andaman Thailand. Saat itu para nelayan dari etnis Moklen yang telah tinggal di sana selama beberapa generasi harus menguburkan kerabat mereka yang meninggal, berjuang dari perampasan tanah membangun kembali rumah-rumah mereka.
Tsunami menghancurkan resort pinggir laut nan mewah yang telah memblokir akses publik ke laut dan telah menghentikan industri pariwisata yang merajalela dan mengancam nelayan Moklen dari tanah leluhurnya di provinsi Phang Nga, di sebelah utara pulau populer di Thailand, Phuket.
Sebagai dampak dari bencana tsunmai, etnis Moklen mendapatkan lagi akses ke pantai dan waktu tak terbatas untuk menjalani cara hidup tradisional mereka.
Jika tidak karena tsunami, orang-orang ini sudah terusir saat iniSakda Phanrangasee, aktivis etnis Moklen |
Setelah dampak akibat tsunami berakhir, warga etnis Moklen mengatakan kedatangan wisatawan telah melonjak dari 11,6 juta pada 2005 menjadi 21,9 juta pada Januari- November tahun ini. Angka itu belum termasuk wisatawan yang datang pada musim liburan di penghujung tahun ini. Harga tanah, sementara itu, telah meningkat sepuluh kali lipat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ironisnya, itu justru membuat etnis Moklen ketakutan cara hidup mereka akan terancam punah lagi.
"Saya berharap tsunami lain akan datang, sehingga warga desa bisa memiliki sedikit lebih banyak waktu untuk hidup dengan cara hidup kami," kata Hong Klathalay, 48, seorang tokoh masyarakat di desa Moklen dari Thung Wa saat ia berjalan melintasi pasir ke perahu kayu sederhana yang diparkir di laguna.
Di tepi hutan laguna berdiri bangunan tradisional Thailand, dengan tembok dari cangkang kerang yang bertahan dari tsunami dan kini ditumbuhi rumput liar dan tanaman merambat.
Di sisi lautnya , mesin konstruksi berdiri tegak pada sebidang tanah dengan dinding penahan baru dan fondasi untuk sebuah hotel besar.
"Mereka membangun tembok di sisi ini dan kemudian air akan mendorong di sisi lain. Jadi mereka akan membangun tembok lain di sana dan memenuhi tanah. Setelah itu semua tembok dibangun, maka kami akan habis," kata Hong dengan marah sambil menunjuk ke lokasi pembangunan.
Etis Moklen yang berkulit gelap itu memiliki hubungan dengan sebuah etnis gipsi laut dari Kepulauan Andaman. Mereka hidup dan bernapas di laut, dengan perangkap ikan dan jaring yang disimpan rapi di halaman mereka.
Phang Nga dan Phuket adalah rumah bagi sekitar 4.000 etnis Moklen, yang telah tinggal di kawasan jauh sebelum
booming pariwisata di Thailand.
Namun seperti kebanyakan etnis asli, mereka tidak secara hukum memiliki tanah yang mereka tempati, menurut Narumon Arunotai, seorang antropolog yang mengkhususkan diri soal etnis gipsi laut.
Jadi ketika tsunami—yang menewaskan 5.395 orang tewas dan 2.932 hilang di Thailand, termasuk lebih dari 2.000 wisatawan asing—menyapu kediaman etnis Moklen, pemilik tanah yang memegang sertifikat resmi mencoba untuk mengusir mereka.
Beruntung, liputan berita pasca-tsunami dan penelitian hak asasi manusia telah meningkatkan kesadaran soal ketidaktahuan mereka soal kepemilikan tanah dan bantuan dari organisasi non-pemerintah memperkuat tekad etnis Moklen untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
“Jika tidak karena tsunami, orang-orang ini sudah terusir saat ini,” kata Sakda Phanrangasee, aktivis dari komunitas yang memperjuangkan nasib etnis Moklen dan membawa mereka ke Bangkok untuk menemui pemerintah pusat.
“Tsunami telah menghentikan
real estate dan pariwisata tapi kini pariswisata sudah mulai bangkit,” kata Sakda.
Real Estate premium Jika resor mewah mulai dibangun kembali, maka tak ada tempat bagi etnis Moklen memarkir perahu mereka. (Reuters/Damir Sagolj) |
Salah satu masalah utama muncul di negara-negara yang terkena tsunami adalah hak warga atas tanah yang tadinya mereka tinggali.
Di Thailand, di mana pariwisata menyumbang sekitar 10 persen dari perekonomian negara, pemilik properti yang terdaftar melihat potensi
real estate premium di tepi pantai—termasuk desa etnis Moklen, Tap Tawan, yang berlokasi di utara wilayah resor mewah Khao Lak dan Thung Wa.
Dua puluh orang tewas di Tap Tawan, 79 rumah hancur dan hanya lima yang tetap berdiri. Para korban dievakuasi ke perkebunan karet terdekat yang lokasinya lebih tinggi.
Dalam beberapa minggu setelah bencana, pemilik tanah melarang penduduk desa untuk kembali, tetapi pemerintah turun tangan dan mengizinkan korban untuk membangun kembali rumah mereka. Pertikaian hukum yang panjang pun terjadi.
"Kami harus pergi ke pengadilan dua sampai tiga kali sebulan dan kami ditekan setiap saat. Sekali atau dua kali, kami berada di pengadilan sampai pukul 01.00 dini hari," kata Thien Harntalay, 47, tokoh masyarakat Moklen.
"Kami takut investor (pemilik tanah) akan datang menembak kami," katanya, duduk di lantai ubin pasir di bungalow semen miliknya, sementara istrinya menggoreng tangkapan malam itu.
Empat tahun yang lalu, mereka mencapai penyelesaian di luar pengadilan dengan pemilik tanah, yang setuju untuk menandatangani lebih dari setengah dari 3,84 hektar tanah untuk 28 desa, Thien mengatakan, sambil menggenggam setumpuk tebal fotokopi sertifikat lahan baru desa.
Sekarang desa khawatir tentang akses mereka ke laut dan daerah di mana mereka memarkir kapal nelayan mereka, karena harga tanah telah melonjak dan investor sering datang untuk melihat-lihat properti pinggir pantai, kata Thien, khawatir bahwa pemilik baru tidak mau memberi kelonggaran jika warga desa lewat wilayah mereka.
"Di masa depan, jika mereka menjual tanah itu, di mana kami, para warga memarkir perahu kami?"
Berbagi lahanAktivis lokal Maitree Jongkraijug berpendapat pemerintah hanya berfokus pada dolar wisatawan dan mengabaikan kebutuhan "orang mereka sendiri yang berjalan di tanah ".
Menurut Bank Dunia, wisatawan asing menghabiskan US$13 miliar di Thailand pada 2004. Angka itu jatuh menjadi US$12,1 miliar sethaun setelah tsunami.
Otoritas Pariwisata Thailand memprediksi pengunjung internasional akan menghabiskan US$36,5 miliar di negara itu tahun ini.
"Mereka melindungi orang asing dan memperlakukan mereka seperti spesies langka," kata Maitree, mengeluh bahwa pantai yang tadinya terbuka untuk umum kini telah dikepung oleh hotel dan resor. " Mereka melindungi orang asing untuk berenang, tapi kami tidak diperbolehkan untuk masuk."
Pejabat pariwisata di Phang Nga menolak berkomentar tentang masalah ini.
Menurut antropolog Narumon, solusinya adalah untuk memastikan etnis Moklen memiliki suara dalam pembangunan daerah, meskipun dia mengakui ini tidak pernah terdengar.
Sakda mengatakan etnis Moklens tidak menginginkan akta tanah, hanya perjanjian tertulis yang jelas bahwa tidak peduli siapa pembeli properti pinggir pantai, etnis Moklen akan diizinkan untuk memarkir perahu mereka dan mencapai laut.
Duduk di sebelahnya, berbagi semangkuk ikan goreng, Thien berhati-hati meletakkan tumpukan dokumen tanah kembali ke map plastik dan ke rak di bawah televisi.
"Sebelumnya, jika kami mendapat ancaman, kami akan pindah tapi kini tak ada lagi tempat tersisa," katanya sambil menggeleng sedih. "Ini tanah kami. Di sinilah kami dilahirkan. Di sinilah kami berasal."