Jakarta, CNN Indonesia -- Pakistan menutup tahun 2014 dengan tragis.
Hari itu, Selasa (16/12) pagi, tampak seperti hari lainnya di sebuah sekolah milik Angkatan Darat di Peshawar. Sekitar 1.100 murid bersekolah di sana. Namun sebelum malam tiba, lebih dari sepersepuluh dari mereka tewas.
Saat itu, di sela jam pelajaran sekitar pukul 10 pagi waktu setempat, Mohammad, 14, sedang berada di ruang auditorium ketika ia mendengar suara tembakan dari luar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria bersenjata dengan muka tertutup syal menyerbu masuk beberapa saat kemudian.
“Siapa di sini yang orang tuanya anggota militer?” Pria itu berteriak tiga kali.
Ruangan langsung didera kepanikan, kursi-kursi terbalik dan Mohammad ingat terdorong dari belakang dan jatuh ke lantai, tertindih oleh teman sekelasnya yang lain.
Saya menutup mata saya, berhenti bernafas dan tidak ingat waktuMohammad, 14, murid sekolah Peshawar |
Pria-pria bersenjata lalu membabi buta menembakkan senapan mereka ke arah murid dan guru, siapa saja yang ada di depan mereka.
“Saya menutup mata saya, berhenti bernafas dan tidak ingat waktu,” ujar Mohammad.
Beberapa menit kemudian, setelah auditorium senyap, ia mulai bergerak memindahkan tubuh-tubuh yang menimpanya untuk melihat sekeliling.
Dikutip dari Time, Mohammad melompat melewati kursi-kursi yang terbalik menuju ke ruangan ganti di belakang panggung auditorium. Di sana, ia menemukan sahabanya, dua kaki tertembak dan satu jari tangan kanan hilang.
“Saya menunduk dan meletakkkan kepala saya di bahunya.”
Mohammad tidak bergerak sampai para penyerang pergi dan bantuan datang.
“Saya hanya bisa mendengar tentara bertanya apakah ada yang masih hidup tapi saya tidak bisa bergerak namun tiba-tiba teman saya mulai menangis dan para tentara mendengar kami dan mendatangi kami,” ujar Mohammad.
Mohammad dan temannya diangkut ke ambulans. “Adalah keajaiban saya bisa hidup,” Mohammad berkata tak lama kemudian.
Serangan balas dendam Beberapa jam setelah pembantaian, militer Paksitan mengklaim membunuh empat orang pelaku peyerangan saat operasi pembebasan sandera. (Reuters/Zohra Bensemra) |
Sedikitnya 145 orang, 132 diantaranya adalah anak-anak, tewas dalam serangan paling mematikan di Pakistan itu.
Diberitakan Reuters, setelah beberapa jam drama penyanderaan oleh Taliban berlangsung pada Selasa (16/12), telah terdengar tiga kali ledakan dari dalam sekolah militer negeri tersebut. Suara desing peluru juga terdengar dari luar komplek sekolah tersebut.
Helikopter militer terlihat berpatroli dari udara, sementara polisi di luar sekolah coba mencegah para orang tua yang ingin menyelamatkan anaknya dari keganasan Taliban.
Kelompok garis keras Taliban membenarkan bahwa mereka berada di balik penyerangan tersebut. Mereka mengaku telah mengirimkan enam orang dengan rompi peledak untuk menyerang sekolah itu.
"Kami memilih sekolah militer untuk diserang karena pemerintah membunuhi keluarga dan wanita kami. Kami ingin mereka merasakan sakit yang kami rasakan," kata juru bicara Taliban Muhammad Umar Khorasani.
Militer Pakistan mengatakan empat penyerang terbunuh dalam penyerbuan pembebasan hari itu. Namun ini hanya awal dari “hukuman” yang akan diberikan oleh pemerintah Pakistan terhadap kelompok militan bersenjata.
Dalam beberapa pekan setelah serangan brutal Taliban itu, hukuman mati secara membabi buta akan segera diberlakukan.
Bau bahan peledakSehari sesudah itu, gedung sekolah hampir rata dengan tanah.
Seperti dilaporkan oleh Reuters yang mendatangi lokasi kejadian, lantai koridor sekolah licin dengan darah, sementara bekas rentetan peluru tergambar jelas di dinding ruang kelas. Kursi, meja, dan sejumlah telepon genggam hancur berserakan.
Satu dinding runtuh akibat aksi bom bunuh diri yang dilakukan salah satu anggota militan Taliban ketika menyandera siswa. Potongan tubuhnya dikumpulkan dan ditutup selembar kain putih. Bau bahan peledak terasa menyengat hidung.
Sejumlah penembak jitu dan personel militer dengan masker wajah terlihat lalu lalang di sekitar gedung.
Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif menyatakan negaranya mengadakan peringatan berkabung selama tiga hari.
Moratorium hukuman matiNawaz Sharif mengumumkan pencabutan moratorium hukuman mati yang sudah diterapkan di Pakistan sejak enam tahun lalu pada Rabu (17/12), tepat satu hari usai penyerangan.
Diyakini ada lebih dari 8.000 tahanan yang menanti hukuman mati di Pakistan, 10 persen di antaranya adalah tersangka terorisme, seperti disampaikan lembaga bantuan hukum Justice Project Pakistan.
Hukuman mati telah dilakukan terhadap puluhan tersangka teroris beberapa pekan pasca penyerangan Taliban di sekolah, baik yang berhubungan dengan serangan itu sendiri maupun tidak.
Pada Senin (22/12), pejabat pemerintah Pakistan mengatakan pemerintah akan mengeksekusi setidaknya 500 tahanan teroris dalam beberapa waktu ke depan.
Lingkaran setan Moratorium hukuman mati langsung dicabut sehari setelah penyerangan dan Pakistan mulai menghukum mati pelaku terorisme, baik yang terkait penyerangan Peshawar atau tidak. (Reuters/Khuram Parvez) |
Hampir bisa dipastikan, agenda melawan terorisme akan menjadi prioritas utama bagi pemerintah Pakistan yang selama ini dianggap tebang pilih dan lemah dalam memberantas aksi teror yang dianggap meresahkan negara itu selama puluhan tahun.
Pakistan, terutama di wilayah suku-suku tak berhukum di perbatasan dengan Afghanistan, merupakan rumah bagi berbagai kelompok militan bersenjata, baik yang berasal dari Pakistan maupun negara tetangga seperti Arab, Uzbekistan, Chechnya bahkan Uighur.
Serangan dari militer meningkat tajam ke wilayah itu setelah serangan Taliban.
Karena pertumpahan darah di sekolah itu juga, pemerintah telah berjanji bahwa Pakistan tidak akan membedakan antara faksi-faksi militan yang berbeda , mencoba untuk menarik dukungan bagi beberapa kelompok yang dianggap berguna dalam konfrontasi Pakistan dengan India dan Afghanistan.
Serangan ini, akan dibarengi pula dengan hukuman mati.
Kantor HAM PBB mengimbau Pakistan pada Jumat (19/12) untuk menahan diri dalam melanjutkan eksekusi.
“Eksekusi terhadap orang yang tidak ada hubungannya dengan serangan (Peshawar), tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Clive Stafford Smith, direktur lembaga pemerhati HAM, Reprieve.
Phelim Kine, wakil direktur Human Rights Watch Asia yang berbasis di AS, mengatakan pada Minggu (21/12), pemerintah Pakistan telah ”memilih untuk menikmati dendam haus darah bukannya mencari dan mengadili mereka yang bertanggung jawab”.
Di sisi lain, Taliban telah mengeluarkan pernyataan mengancam untuk melancarkan lebih banyak serangan di wilayah Pakistan sebagai pembalasan atas eksekusi dari setiap anggota mereka.
Lingkaran setan sudah terbentuk.