Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa jam setelah serangan mematikan kelompok Islamis di Paris, Perdana Menteri Perancis Manuel Valls memperkirakan negaranya tidak akan kembali seperti semula. Tetapi seperti yang ditanyakan dalam satu poster dalam pawai massal: “Sekarang apa?”
Dalam penggambaran emosi publik yang tidak pernah terlihat sejak pembebasan Paris dari Nazi Jerman pada 1944, 1,5 juta warga Perancis memenuhi jalanan kota Paris sebagai tanda berduka atas pembunuhan 17 orang dalam tiga serangan ke majalah mingguan satir Charles Hebdo, satu swalayan Yahudi dan polwan.
“Bangga menjadi warga Perancis” kalimat yang tidak terhitung telah dicuit di Twitter dari mereka yang ikut dalam pawai yang secara nasional diikuti oleh setidaknya 3,7 juta orang dari seluruh partai politik, agama dan etnis masyarakat Perancis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Francois Hollande menyebutnya “sisi terbaik” Perancis. Tetapi kini muncul tugas terberat dalam menyalurkan momentum tersebut untuk mengatasi masalah-masalah keamanan, peradilan, sosial dan ekonomi yang disebut-sebut sebagai faktor di belakang ancaman yang terus menghadang ini.
“Sikap persatuan ini tentu saja sangat rentang,” tulis harian Katholik Le Croix. “Tidak akan lama sebelum perselisihan dan kebencian yang biasa terjadi untuk muncul kembali. Kita hanya bisa berharap.”
Namun, perpecahan sikap persatuan itu sudah muncul pada Senin (12/1) ketika warga Perancis memulai kembali acara rutin menonton wawancara pagi hari.
Sementara pemerintah tidak pernah menyinggung Aljazair sebagai bangsa asal Kouachi bersaudara atau Afrika sebagai benua asal Amedy Coulibaly, para pengkritiknya memandang etnis para pelaku serangan itu relevan dengan hal yang mereka pandang sebagai perdebatan imigrasi yang sudah seharusnya dilakukan.
Tidak akan lama sebelum perselisihan dan kebencian yang biasa terjadi untuk muncul kembali. Kita hanya bisa berharapHarian Le Croix Peranis |
“Imigrasi tidak terkait dengan terorisme, tetapi hal itu memperumit masalah,” ujar mantan presiden Nicolas Sarkozy, yang berpawai di belakang Presiden Francois Mitterand pada Minggu (11/1) sebagai pemimpin partai konservatif, dalam wawancara dengan radio RTL.
“Ketika integrasi tidak berhasil, akan ada masalah di wilayah kita,” tambahnya.
Sarkozy tidak menawarkan jalan keluar atas masalah itu. Tetapi tema ini terkait dengan himbauan agar para imigran “menikahi” bahasa dan budaya Perancis - yang merupakan bagian dari upaya memenangkan kembali suara pemilih dari partai ekstrim kanan Front Nasional menjelang pemilihan presiden 2017 nanti.
Perbincangan semacam itu menjadi umpan dalam konteks kekerasan dimana dilaporkan terjadi serangan-serangan yang mensasar Muslim beberapa hari setelah pembunuhan di Charlie Hebdo dan ketika satu perdebatan mengenai identitas dipanasi dengan buku seperti novel baru yang membayangkan seorang presiden Perancis beragama Islam pada 2020.
Pemerintah Sosialis pimpinan Hollande berargumentasi bahwa kesetaraan kesempatan menjadi kunci bagi keharmonisan ras tetapi seperti pemerintah-pemerintah sebelumnya belum bisa mengatasi perasaan diasingkan yang dialami di wilayah-wilayah kota besar tempat sebagian besar imigran tinggal.
“Kejahatan keji ini dilakukan oleh kaum muda yang besar di negara kami, yang terkadang tidak bisa membantu mereka membangun masa depan mereka sendiri,” aku Emmanuel Macron, menteri ekonomi, kepada wartawan.
“UU Patriotik” Perancis?Pemerintah Holande yang ditekan oleh mitra-mitra Uni Eropa untuk mengurangi pembelanjaan publik, tidak akan bisa mendanai regenerasi semacam “Marshall Plann” untuk wilayah pemukiman Perancis yang pernah dijanjikan oleh pemerintah sebelumnya tetapi gagal dilaksanakan.
Hal yang sama sulitnya diatasi adalah kelemahan yang dipandang ada pada struktur hukum dan intelijen Perancis yang ditegaskan oleh Valls akan segera diatasi.
“Kami harus melakukan perubahan di lembaga pemasyarakatn, ini prioritas utama,” ujarnya kepada stasiun televisi terkait risiko radikalisme di penjara, yang kebanyakan melebihi kapasitas, dan salah satunya adalah penjara tempat Cherif Kouachi pertama kali bertemu dengan Coulibaly.
Tragedi minggu lalu dipandang sebagai serangan “9/11 Perancis”, sehingga banyak pihak meminta satu “UU Patriotik” yang serupa dengan yang dibuat Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2011, dimana pihak berwenang memiliki kekuatan pengawasan dan penahanan yang lebih luas untuk meningkatkan keamanan.
 Masalah integrasi dan ekonomi imigran menjadi bom waktu di Perancis, kecuali pemerintah bertindak untuk mengatasinya. (Reuters/Gonzalo Fuentes) |
Untuk saat ini usul tersebut ditolak. Tetapi Valls mengakui kekurangan dalam pengawasan para pelaku serangan di Paris dan menegaskan perlu sumber-sumber yang lebih besar selain juga pengkajian atas keterbatasannya secara hukum.
Sementara, gambar-gambar yang paling mengesankan dari pawai Minggu itu adalah Hollande berjalan bergandengan tangan dengan Angela Merkel dari Jerman dan para pemipin Uni Eropa lain, Perancis harus mendapat dukungan kongkrit dari mitra Eropanya itu untuk meningkatkan upaya memerangi terorisme.
Menteri Dalam Negeri Bernard Cazeneuve meminta kerja sama lintas perbatasan yang lebih besar dengan mengatakan pengaturan Uni Eropa tidak cukup dalam mengatasi ancaman yang ada.
Dia mendesak pembuatan satu basis data bersama untuk penumpang pesawat yang saat ini dilarang oleh Parlemen Eropa karena kekhawatiran akan hak-hak pribadi.
Dalam satu hal yang terlihat sebagai ironi, adalah di hari pawai yang dipandang banyak pihak sebagai upaya mendukung kebebasan berekspresi, Cazeneuve juga meminta Eropa memerangi penyalahgunaan internet untuk merekrut kaum muda untuk melakukan kekerasan dan pidato kebencian.
Jaksa penuntut juga melakukan penyelidikan terkait sikap memaafkan aksi terorisme, terhadap komedian Dieudonne karena menulis bahwa dia merasa “Charlie Coulaby” di akun Facebooknya yang merupakan permainan kata dari slogan “Je suis Charlie”.
“Kita harus bekerja sama lebih erat dengan perusahaan-perusahaan internet untuk menjalin pelaporan dan jika mungkin menarik semua isi yang bersifat memaafkan terorisme atau himbauan kekerasan dan kebencian,” ujar Cazeneuve sebelum kasus Dieudonne diangkat.
Dalam beberapa bulan ke depan, titik perhatian mungkin juga akan berpusat pada apakah Perancis akan mempertahankan peran militernya di negara-negara Muslim seperti Irak atu Mali - aksi intervensi yang dikutip oleh seseorang yang mengaku Coulibaly sebagai motivasi serangan dalam video yang direkam sebelum dia melakukan serangan.
Dalam kolom editorial yang menyimpulkan perubahan kolektif yang harus diambil oleh Perancis dan pemimpinnya dari ujian yang dialami beberapa hari lalu ke masa depan, Le Figaro memuat berita utama berjudul: “Setelah kesedihan, kini keberanian”.
(yns)