Sydney, CNN Indonesia -- Para pegiat hak asasi mengatakan aksi protes ratusan pencari suaka di pusat penahanan milik Australia di Papua Nugini masih berlangsung, meski pemerintah menyatakan aksi itu sudah selesai.
Sejumlah pengungsi dilaporkan menelan silet dan deterjen untuk melukai diri mereka karena merasa frustasi ditahan tanpa waktu terbatas.
Direktur Refugee Action Coalition Ian Rintoul mengatakan sekitar 70 orang pengungsi dimasukkan ke penjara karena terlibat dalam aksi protes itu, sementara yang lain diisolasi di fasilitas kesehatan kamp pengungsi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Mereka secara sistemtis memindahkan orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin aksi protes dari kompleks itu,” ujar Rintoul.
“Mereka yakin bisa menghentikan gerakan protes tersebut dengan memindahkan beberapa orang dari kamp, tetapi hal ini tidak terjadi.”
Pegiat mengatakan aksi protes semakin menjalar di kamp tersebut.
Wartawan dilarang masuk ke Pulau manus sehingga informasi terkait protes ini tidak bisa diverifikasi secara independen.
Australia memanfaatkan pusat-pusat penahanan di luar negeri seperti di Papua Nugini dan Nauri untuk memproses calon pengungi yang mencoba memasuki wilayah Australia dengan kapal-kapal dari Indonesia.
Aksi protes dimulai di pulau Manus, Papua Nugini, minggu lalu setelah para pengungsi diberitahu akan dipindahkan ke tempat baru yang membuat mereka takut akan serangan dari warga Papua Nugini yang menentang kamp pengungsi ini.
Pada Februari 2014 terjadi kerusuhan di Manus yang menewaskan seorang pengungsi dan menewaskan 70 orang, ketika warga setempat menyerbu kamp dan menyerang para pengungsi.
Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton dan para pejabat Papua Nugini mengatakan pada Selasa (20/1) bahwa mereka telah merundingkan penghentian aksi protes ini secara damai, meski rekaman video yang dilihat oleh kantor berita Reuters memperlihatkan polisi anti huru-hara memaksa masuk ke fasilitas penahanan tersebut.
Juru bicara menteri imigrasi tidak bisa dihubungi oleh Reuters terkait masalah ini.
Berdasarkan kebijakan keras Perdana Menteri Tony Abbot, tidak satupun dari ribuan pencari suaka yang akan memenuhi syarat untuk bisa pindah ke wilayah itu. Bahkan jika pun mereka adalah pencari suaka yang benar-benar lari dari kekejaman di negara masing-masing.
(yns)