London, CNN Indonesia -- Meskipun buku "Guantanamo Diary" laris terjual dan menuai banyak pujian, sang penulis, Mohamedou Ould Slahi hingga kini masih mendekam dalam tahanan di penjara Teluk Guantanamo.
Buku memoar setebal 466 halaman ini mengisahkan perjalanan hidup Slahi, pria asal Mauritania, yang mendekam di Guantanamo sejak 2002, namun tidak pernah menjalani proses peradilan.
Ketika buku memoarnya diterbitkan di Inggris pada Selasa (20/1), keluarga Slahi menggelar konferensi pers di London, untuk menuntut pembebesan Slahi. Sejumlah selebriti Inggris, seperti Stephen Fry dan Colin Firth, mendukung pembebasan Slahi dengan membacakan cuplikan buku ini yang dirilis secara daring.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fry membacakan cuplikan kisah Slahi ketika dia berada dalam tahanan.
"Mereka memasukkan sejumlah es batu ke dalam pakaian saya. Es batu tersebut memenuhi tubuh saya, dari leher hingga pergelangan kaki. Setiap kali es mencair, mereka memasukkan es batu yang baru. Para penjaga kerap memukuli wajah saya," bunyi tulisan Slahi, seperti dibacakan Fry, dikutip dari Reuters, Kamis (21/1).
Slahi, yang bergabung dengan kelompok pemberontak di Afghanistan pada dekade 1990an, menyerahkan diri ke pihak berwenang tiga minggu setelah serangan 9/11 pada 2001 lalu. Slahi diduga merencanakan pengeboman di bandar udara Los Angeles.
Komisi penyelidik serangan 9/11 menyatakan Slahi sebagai anggota penting Al-Qaidah, yang membantu merekrut sel teroris di Hambrug, termasuk sejumlah teroris yang meluncurkan serangan 9/11 dan teman sekamar Mohamed Atta.
Pemerintah AS juga menyatakan Slahi membantu merekrut pembajak 9/11, namun tidak pernah mengajukan tuntutan secara resmi.
Menurut catatan pengadilan militer AS, Slahi dibawa ke Yordania dan diinterogasi selama beberapa bulan sebelum dikirim ke Afghanistan dan berakhir di Guantanamo, Kuba.
Dalam buku memoarnya, Slahi menuliskan dia menjalani penyiksaan dan tidak mendapatkan proses peradilan terkait penahanannya. Kesaksiannya ini semakin menguatkan dugaan para tersangka teroris tidak mendapatkan keadilan di penjara Guantanomo.
Slahi juga menceritakan dia pernah ditelanjangi, sebelum dikirim ke militer AS.
"Sekitar bagian pribadi saya, salah satu dari tim memakaian saya popok. Ketika itu, saya yakin saya akan menuju ke AS dan mulai meyakinkan diri bahwa ' semuanya akan baik-baik saja," tulis Slahi.
Pada tahun 2010, seorang hakim federal AS memutuskan bahwa pemerintah tidak bisa melanjutkan penahanan atas Slahi karena kurangnya bukti. Meskipun demikian, Slahi tetap dipenjara setelah banding berikutnya ditolak oleh pemerintah AS.
Letnan Kolonel Myles B. Caggins, juru bicara Pentagon untuk urusan Guantanamo, mengatakan kasus Slahi sedang ditinjau ulang.
Slahi selesai menuliskan bukunya pada tahun 2006. Namun, pemerintah AS menyatakan naskah buku tersebut termasuk dalam dokumen rahasia. Organisasi American Civil Liberties Union atau ACLU, membantu mendapatkan naskah tersebut melalui proses penyuntingan pada tahun 2012.
"Saya sangat berharap siapapun yang mencari gambaran bagaimana hidup di balik jeruji besi Guantanamo akan membaca buku ini dan mengapresiasinya. Semoga buku ini dapat mempercepat pembebasan Mohamedou dan tahanan lainnya yang tak pernah menjalani pengadilan," kata Hina Shamsi, direktur Proyek Keamanan Nasional ACLU, dikutip dari CNN, Selasa (20/1).
Pada Rabu (21/1), "Guantanamo Diary" termasuk dalam 100 buku terlaris di Amazon dan 50 buku terlari di Barnes & Noble.
(ama/ama)