Penang, CNN Indonesia -- Abul Kassim, 40 tahun, pencari suaka Rohingya yang tinggal di negara bagian Penang utara, Malaysia, diculik dari rumahnya pada Senin, (12/1). Keesokan paginya, tubuh Kassim ditemukan dengan penuh luka pukul dan darah.
Hari itu, polisi segera bergerak mencari pembunuh Kassim dan mengamankan 17 pengungsi Rohingnya lainnya di wilayah Kedah, yang mengaku mengalami penculikan.
Pihak Kepolisian Penang menyatakan hingga saat ini delapan terduga penyelundup menusia dari Malaysia, Myanmar dan Bangladesh berhasil diamankan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembunuhan Kassim menguatkan klaim yang dilontarkan para aktivis bahwa para penyelundup di Malaysia akan melakukan apa saja, termasuk menganiaya atau membunuh, untuk untuk melindungi bisnis ilegal mereka yang menguntungkan.
Pemimpin kelompok Masyarakat Rohingya yang berbasis di Kuala Lumpur, Abdul Hamid menduga Kassim dibunuh karena sering memberikan informasi kepada polisi terkait lingkaran penyelundupan manusia di Malaysia.
Seperti dilaporkan Reuters, sejumlah kerabat dan saksi korban penculikan menyatakan setidaknya tiga pengungsi Rohingya diculik di Penang dari rumah, kedai kopi dan jalan pada periode 2013-2014. Selain itu, seorang pria Rohingya disiksa setelah dibawa oleh para penyelundup melalui Thailand.
"Tiga dari empat kasus penculikan terakhir berakhir dengan pembunuhan," kata salah satu kerabat korban yang diculik, namun menolak disebutkan namanya, dikutip dari Reuters Kamis (29/1).
Organisasi HAM yang berbasis di Asia Tenggara, Fortify Rights, mendokumentasikan tiga pembunuhan Rohingya oleh para penyelunduh sepanjang tahun lalu.
Namun, karena sebagian besar pengungsi Rohingya tidak memiliki pekerjaan yang legal, dan takut akan pelecehan polisi, hanya sedikit saja pengungsi Rohingya yang mengadukan kasus penculikan dan pembunuhan ke pihak berwenang. Langkah yang dilakukan polisi untuk melindungi pengungsi Rohingya juga dinilai sangat minim.
Diwawancarai oleh Reuters pada akhir 2014 lalu, kepala polisi Penang, Abdul Rahim Hanafi membantah penyelundup membunuh pengungsi Rohingya di negara bagian tersebut.
Seorang pemimpin komunitas Rohingya yang berbasis di Kuala Lumpur, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan bahkan kasus kekerasan pada Rohingya di Malaysia sulit diukur karena kekuasaan dan jaringan yang dimiliki penyelundup cukup luas.
"Jika kita mencoba untuk mendapatkan informasi tentang para penyelundup, mereka hanya akan menargetkan orang yang mencoba untuk mendapatkan informasi. Kami tidak aman," katanya.
Kasus kekerasan pada Rohingya juga termasuk dugaan penculikan dan pembunuhan etnis Rohingya Harun dan Sayed Noor, yang merupakan saudara sepupu, pada tahun 2013 dan 2014 silam.
Paman Harun, Mohammad Salim, 50 tahun menyatakan bahwa keponakannya, pria berusia 35 tahun itu diculik oleh para penyelundup pada awal 2013 dari sebuah toko Penang dan ditahan selama seminggu.
Para penculik meminta uang tebusan dari 7.000 Ringgit atau setara dengan Rp24 juta.
"Setelah dibebaskan, Harun kemudian melaporkan penculikannya kepada polisi dan bersembunyi," kata Salim.
"Sebagai pembalasan, para penyelundup menculik sepupunya, Sayed Noor, yang berusia sekitar 30 tahun, dan menahannya sebagai untuk ditukar dengan Harun dan 50.000 Ringgit," kata Salim.
 Pengungsi Rohingya ditahan para penyelundup di sejumlah kamp-kamp kumuh di tengah hutan dan baru akan dibebaskan setelah sanak kerabat membayarkan uang tebusan. (Reuters/Anindito Mukherje) |
Beberapa bulan kemudian, Sayed ditemukan tewas, dengan tanda-tanda penyiksaan dan mutilasi di tubuhnya.
Pada awal 2014, para penyelundup berhasil menemukan Harun. Beberapa bulan kemudian, Salim menerima telepon dari nomor ponsel Thailand yang menyuruhnya untuk meninggalkan kota.
"Penyelundup mengatakan sendiri kepada saya dia telah membunuh Harun," kata Salim.
Peristiwa yang sama mengerikannya terjadi pada Sadek Akbar, 17 tahun, yang melarikan diri dari Myanmar pada Maret lalu.
Setelah dipindahkan dari sejumlah kamp di hutan Thailand dan Sadek ditahan di penampungan Penang. Penculiknya meminta uang tebusan sebesar 2.000 Ringgit
"Kami tidak mampu, sehingga mereka memukulinya sampai mati dan menjatuhkan dirinya di pinggir jalan," kata paman Akbar, Altaf Hussain, 48 tahun, kepada Reuters .
Menurut catatan Reuters, sejak tahun 2012, terdapat lebih dari 100 ribu etnis Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan melarikan diri dari diskriminasi dan kemiskinan di Myanmar. Sebagian besar pengungsi memakai jasa penyelundup manusia yang mengirimkan mereka ke Thailand.
Pengungsi Rohingya ditahan para penyelundup di sejumlah kamp-kamp kumuh di tengah hutan dan baru akan dibebaskan setelah sanak kerabat membayarkan uang tebusan.
Sejumlah wilayah di selatan Malaysia yang relatif makmur menjadi tujuan utama bagi sebagian besar pengungsi Rohingya yang melarikan diri. Namun bagi sebagian lainnya, wilayah ini dianggap tidak aman.
(ama)