Jakarta, CNN Indonesia -- Empat geisha berbalut kimono di bawah mantel musim dingin yang gelap, berjalan menyusuri hutan berselimut salju. Payung merah dan oranye mereka bagai percikan warna di tengah musim dingin yang monokrom.
Ditulis
CNN pada Senin (2/2), ini bisa menjadi gambar dalam lukisan dari seniman Jepang Abad 19, Hokkusai. Namun, di balik gambar yang mengguggah itu, tersimpan cerita modern.
Fiona Graham memimpin keempat geisha mengarungi salju di Niseko, tempat berski di utara Pulau Hokkaido. Hijrah ke Jepang saat berusia 15 tahun, ia adalah warga negara Australia pertama yang menjadi geisha pada 2007.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bekerja dan hidup sebagai Sayuki, ia membawa sekilas dunia misterius geisha dengan mengadakan perjamuan dan menawarkan pengunjung untuk melihat para geisha berlatih kesenian.
Ketertarikan Graham terhadap geisha muncul ketika ia sedang mengerjakan proyek dokumenter.
Graham menolak bersentuhan dengan lensa kamera. Menurutnya, hanya dengan menjadi geisha maka ia dapat memahami tradisi dan kemampuan mereka.
"Saya tidak bisa hanya sekali masuk ke dalamnya. Saya harus benar-benar merangkulnya. Itu jalan satu-satunya," ucap Graham.
Melanjutkan kisahnya, Graham mengaku hal pertama yang membuatnya ingin menyelami kehidupan geisha adalah keindahan mereka.
"Dunia geisha secara estetis sangat indah dengan gaya hidup yang sangat cantik," ucap Graham.
Keputusan Graham, seorang Barat, untuk menjalani hidup sebagai geisha di Jepang bukanlah sesuatu yang mudah. "Tapi, sungguh, untuk menjalani hidup indah di negara manapun tidak mudah," tuturnya.
Tidak berubah sejak 400 tahunBanyak turis yang datang ke Jepang tertarik dengan misteri industri geisha. Tur Sayuki bisa membawa mereka lebih dekat untuk merasakan kehidupan geisha.
Hiburan malam dalam sebuah jamuan diisi dengan makan malam yang diselingi dengan tari-tarian, nyanyian atau musik dari instrumen tradisional seperti shamisen atau yokobue.
Secara tradisional, seorang geisha memiliki spesialisasi dalam satu seni yang didalami sepanjang kariernya.
Di samping beberapa sentuhan abad-21 seperti iringan musik dari iPod, Sayuki mengaku suasana di setiap jamuan makan malam tidak banyak berubah sejak 400 tahun.
"Jika Anda datang ke sebuah jamuan, Anda akan merasakan bagian terindah dari budaya Jepang, masakaan terbaik Jepang. Tidak ada cara lain untuk menikmatinya dalam satu kesempatan," ungkap graham.
Meskipun Niseko dianggap sebagai tempat pelopor geisha di Jepang, Sayuki memilih Asakusa di Tokyo sebagai tempatnya berkelana menghelat jamuan.
Tradisi berbalut misteriSelama berabad-abad geisha bekerja sebagai penghibur dan teman bayaran. Namun terjemahan geisha yang paling harfiah adalah seniman.
Setiap distrik di Jepang memiliki rezim pelatihan geisha tersendiri. Namun umumnya, seperti di Tokyo, latihan diadakan setelah satu tahun magang dengan empat tahun latihan tambahan.
Dalam rumah geisha—akademi pelatihan geisha—banyak pihak yang turut membantu geisha untuk mengatur kariernya. Selain itu, mereka juga menciptakan ikatan dan atmosfer unik dalam kekeluargaan.
Di dalam rumah ini, para geisha juga mendalami makna harga dari sehelai kimono yang bisa mencapai ribuan dollar.
Setelah mengikuti pelatihan di rumah geisha di Asakusa, kini Sayuki bekerja secara independen.
Sayuki menolak kesempatan mengambil posisi sebagai ibu atau mentor geisha dari rumah geisha tempatnya berlatih karena ia bukan orang Jepang.
Sama dengan Kyoto, distrik Asakusa juga memiliki tradisi geisha yang panjang. Karena itu, pengunjung dapat dengan mudah menemukan geisha di tempat minum teh atas restoran sepanjang jalan.
Komersialisasi: Bertolak belakang dengan kebiasaan geishaGeisha menjadi semacam tujuan wisata di Kyoto. Kini, ada tur yang kerap dikritik masyarakat karena dianggap mengganggu.
Komersialisasi geisha ini dianggap bertentangan dengan kebudayaan asli geisha.
"Eksklusivitas adalah bagian dari geisha. Orang mau mengomersialisasi ini, tapi sebagai turis Anda tidak akan merasakan pengalaman murni. Anda akan merasakan, tapi tidak akan sama," ungkap Lesley Downer, seorang pengarang buku yang menghabiskan waktu enam bulan di distrik Kyoto saat membuat "Geisha: The Remarkable Truth Behind the Fiction."
Bagi Downer, geisha merupakan pemelihara kebudayaan tradisional Jepang. Jauh dari anggapan orang mengenai pelacur dengan muka dicat, Downer percaya geisha adalah seniman profesional.
"Mereka adalah perempuan yang sangat menakjubkan. Berjalan bersama mereka di jalan membuat saya sangat bangga," tuturnya.
(stu)