Ankara, CNN Indonesia -- Pengadilan Turki akan mendakwa wartawan lepas asal Belanda, Frederike Geerdink, dengan tuduhan menyebarluaskan "propaganda teroris".
Surat dakwaan pengadilan Turki menyebutkan Geerdink didakwa karena mengirim pesan dukungan kepada Partai Pekerja Kurdistan atau PKK, di akun media sosial Facebook dan Twitter miliknya. Padahal, PKK merupakan partai terlarang di Turki.
Jika terbukti bersalah, Geerdink menghadapi hukuman hingga lima tahun penjara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya selalu berpikir tentang bagaimana melakukan pekerjaan saya sebagai seorang jurnalis dan selalu memilih kata-kata dengan teliti dan hati-hati," kata Geerdink sembari menampik tuduhan yang ditimpakan kepadanya, dikutip dari Reuters, Senin (2/2).
Pengadilan Turki memang kerap menargetkan wartawan, baik mereka yang keturunan Turki, maupun Kurdi. Dakwaan terhadap Geerdink menjadi contoh bahwa wartawan asing tak luput dari tuduhan kriminal di Turki.
Pasukan keamanan sempat metahan Geerdink selama sementara pada 6 Januari lalu dan menggerebek rumahnya di Diyarbakir, kota terbesar di sebelah tenggara yang didominasi warga keturunan Kurdi.
Penahanannya memicu protes dari Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders, yang saat itu tengah mengunjungi Turki. "Terkejut atas penangkapan Geerdink dan saya akan membicarakan hal ini secara pribadi dengan rekan saya Cavusoglu di sini, di Ankara," tulis Koenders, dalam akun Twitter miliknya, Selasa (6/1).
Penahanan Geerdink juga bertepatan dengan pernyataan Presiden Tayyip Erdogan yang membantah anggapan pemerintah Turki mengekang kebebasan media. Tak ayal, dakwaan terhadap Geerdink juga memicu pertanyaan seputar intoleransi dan kebebasan media di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Meskipun demikian, Presiden Erdogan menolak pemberitaan media Barat yang marak melaporkan bahwa Turki menjadi semakin tidak demokratik di bawah kekuasaannya yang telah berlangsung selama 12 tahun, di mana ia menjabat sebagai perdana menteri selama dua periode sebelum menjadi presiden.
"Saya membantah hal ini. Tidak ada tempat di Eropa atau di negara lain di mana media mendapatkan kebebasan pers seperti di Turki," kata Erdogan, Selasa (6/1).
Menurut Indeks Kebebasan Pers Dunia yang dirilis kelompok advokasi Reporters Without Borders pada 2014, Turki barada di peringkat 154 dari 180 negara yang menjunjung kebebasan pers.
Berbasis di Turki sejak tahun 2006, Geerdink adalah penulis buku De Jongens zijn Dood, atau The Boys Are Dead, yang terbit tahun lalu, tentang 2.011 kasus pemboman oleh pesawat militer Turki yang menewaskan 35 warga sipil Kurdi.
Pemberitaan Geerdink berfokus kepada masalah yang dialami oleh warga Kurdi yang merupakan topik yang sangat sensitif setelah militan PKK meluncurkan pemberontakan selama puluhan tahun demi menuntut otonomi yang lebih besar. Pemberontakan tersebut diperkirakan menyebabkan sekitar 40 ribu orang tewas.
Upaya untuk mengakhiri pertumpahan darah sejak gencatan senjata tahun 2012 telah terhenti dalam beberapa bulan terakhir.
"Masalah Kurdi adalah masalah yang paling mendesak dan merupakan masalah politik terbesar Turki. Sehingga, masalah tersebut merupakan isu yang baik untuk diberitakan," kata Geerdink.
(ama/stu)