Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon mengimbau Indonesia pada hari Jumat untuk tidak mengeksekusi 12 terpidana mati untuk kasus narkoba, yaitu warga Australia, Brazil, Perancis, Ghana, Nigeria dan Filipina dan empat warga Indonesia.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan Ban telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pada Kamis (12/2) untuk mengungkapkan keprihatinannya terkait eksekusi hukuman mati gelombang ke dua di Indonesia.
"PBB menentang hukuman mati dalam segala keadaan. Sekretaris Jenderal mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati bagi tahanan kasus narkoba yang tersisa,” kata Dujarric dikutip dari Reuters, Sabtu (14/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan bahwa dua warga Australia, Myuran Sukumaran, 33 tahun, dan Andrew Chan, 31 tahun, termasuk dalam terpidana mati yang akan dieksekusi setelah presiden Joko Widodo menolak permohonan grasi mereka pada bulan Januari lalu.
Sukumaran dan Chan termasuk dalam kelompok Bali Nine anggota kelompok yang disebut sebagai Bali Nine. Mereka dibekuk di bandar udara Ngurah Rai, Denpasar pada 2005, dan kasus mereka menjadi isu besar dalam politik dalam negeri Australia.
PM Abbott memohon penghentian ekseskusi
Perdana Menteri Tony Abbott juga melayangkan permohonan kepada Indonesia untuk mengabulkan grasi terhadap Sukumaran dan Chan, yang merupakan anggota kelompok yang disebut sebagai Bali Nine. Mereka dibekuk di bandar udara Ngurah Rai, Denpasar pada 2005, dan terbukti bersalah mencoba menyelundupkan lebih dari delapan kilogram heroin dari Indonesia ke Australia
" Jutaan warga Australia merasa sangat, sangat marah terkait dua terpidana mati asal Australia di Indonesia. Dan saya mohon, bahkan di saat-saat terakhir ini, agar Indonesia responsif kepada permohonan kami, sebagaimana sebuah negara memohon penyelamatan nyawa warganya kepada negara lain,” kata Abbott, dikutip dari Channel NewsAsia, Sabtu (14/2).
Media Australia melaporkan bahwa terdapat 360 orang Indonesia dengan hukuman mati di seluruh dunia, termasuk di Malaysia, Singapura, Tiongkok, Arab Saudi dan Qatar. Sebanyak 230 orang di antaranya terkait kasus narkoba. “Kami membenci hukuman mati, kami menganggap (hukuman mati) sebagai hukuman barbar,” kata Abbott.
Abbott juga mengancam, jika Indonesia tetap melanjutkan eksekusi mati, Australia tidak segan menunjukkan “ketidaksenangannya” dan menarik diplomatnya dari Jakarta.
![]() |
"Kami akan menemukan cara untuk menunjukkan ketidaksenangan kami (atas eksekusi mati tersebut). Kami menghormati kedaulatan Indonesia, tapi kami akan sangat menghargai kebesaran hati dalam hal ini,” kata Abbott.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop juga meminta Indonesia untuk memperlihatkan belas kasihan dalam kasus ini.
"…kita tidak boleh berhenti berharap dan kami akan terus melakukan upaya menyelamatkan warga negara Australia,” kata Bishop pada Kamis (12/2).
Sementara, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Armanatha Nasir, mengatakan hukuman mati sesuai dengan hukum Indonesia dan dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.
“Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan untuk kejahatan yang paling serius," kata juru bicara Armanatha Nasir, kepada Reuters.
“Indonesia berpandangan bahwa kejahatan narkoba merupakan kejahatan paling serius, tanpa pandang bulu membuat jutaan korban menderita dan menyebabkan banyak kematian,” kata Armanatha.
Indonesia memiliki hukum yang keras untuk pelaku kasus narkoba, dan memulai kembali eksekusi mati pada 2013 setelah lima tahun tidak dilaksanakan. Pada eksekusi mati gelombang pertama Januari lalu, sebanyak enam terpidana mati asal Brazil, Malawi, Belanda, Nigeria dan Vietnam telah dieksekusi di Nusakambangan.
Brasil dan Belanda menarik pulang duta besar mereka untuk berkonsultasi, sementara Nigeria memanggil duta besar Indonesia di Abuja, setelah eksekusi warga negara mereka bulan lalu.
Hubungan Indonesia dan Australia memang kerap menegang menyusul sejumlah kebijakan kedua negara. Pada tahun 2013 misalnya, Indonesia menarik pulang duta besar dan membekukan kerjasama militer dan intelijen setelah muncul laporan bahwa Canberra memata-matai pejabat tinggi Indonesia, termasuk istri presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hubungan diplomatik RI-Australia kembali normal pada Mei tahun lalu.