Bangkok, CNN Indonesia -- Pengunjuk rasa mahasiswa Thailand yang berupaya mengakhiri pemerintahan militer dan menyebut diri sebagai “kelompok perlawanan terakhir” mengatakan akan menentang rejim militer secara terbuka.
Anggota Pusat Mahasiswa Thailand bagi Demokrasi, TSCD, yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai latar belakang politik dan sosial ekonomi kini menjadi masalah bagi pemerintah militer yang meski melarang aksis protes masyarakat, tetap ingin mempertahankan dukungan pada mereka terutama dari kelas menengah dan elit bisnis Bangkok.
Sebagian dari mahasiswa ini mendukung gerakan “kaos merah” mantan perdana menteri Yingluck Shinawatra, tetapi sebagian lagi bersimpati pada kelompok kemapanan yang mendukung militer
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aksi protes masyarakat akan bisa menjadi gangguan bagi pemerintah militer, yang kini pun mengalami kesulitan mengatasi masalah perekonomian.
Militer sendiri selalu mengatakan siap berunding dengan mahasiswa, tetapi mereka menahan sejumlah mahasiswa karena menyelenggarakan pertemuan publik pada akhir minggu.
“Militer akan gagal jika tidak berhasil di bidang ekonomi, yang berdampak langsung pada rakyat,” ujar Jurin Laksnawisit, anggota Partai Demokrat satu partai politik tertua di Thailand.
Anggota TSCD mengatakan siap dipenjara agar perekonomian kedua terbesar Asia Tenggara ini bisa kembali diperintah secara demokratis.
“Kami adalah kelompok perlawanan terakhir,” ujar Than Rittiphan, anggota TSCD, kepada kantor berita Reuters pada Senin (16/2).
Selama satu dekade terakhir Thailand terbagi menjadi dua.
Di satu kubu berdiri mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra yang digulingkan militer dan keluarganya yang kuat secara politik dan mendapat dukungan dari daerah pedesaan melalui program subsidi uang tunai dan layanan kesehatan gratis.
Di kubu lain adalah elit politik tradisional Bangkok yang merasa terancam dengan kemunculan Shinawatra yang sangat cepat itu.
Kudeta pada Mei 2014 mengakhiri aksi protes jalanan menentang adik Thaksin, Yingluck yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan.
Yingluck disingkirkan dari jabatannya hanya beberapa hari sebelum kudeta setelah pengadilan menyatakan dia bersalah dalam dakwaan menyalahgunakan kekuasaan.
‘Akan Berunding’Kubu yang menentang kudeta ini, seperti para pemimpin gerakan “kaos merah” pro-Yingluck, bersikap menunggu sejak Thailand diperintah militer.
Tetapi, dibawah pengawasan ketat militer lebih dari 60 mahasiswa berada di garis terdepan di setiap aksi protes terbuka, dan seluruh aksi ini dibubarkan oleh aparat dan puluhan mahasiswa ditangkap meski kemudian dibebaskan.
Para mahasiswa mengatakan peningkatan keluhan terkait perekonomian berarti Thailand akan segera dilanda gelombang aksi protes baru.
Sejak kudeta militer, negara yang sangat tergantung pada industri pariwisata ini kesulitan mencapai pertumbuhan yang diinginkan. Pada 2014, perekonomian Thailand hanya tumbuh 0,7 persen, tingkat terendah sejak banjir besar pada 2011.
“Rakyat mulai gerah dengan rejim tiran ini, terutama cara mereka menangani perekonomian,” ujar Than.
Than, yang sudah berhenti kuliah, mengatakan para masiswa memiliki “ratusan” pendukung tetapi sebagian besar dari mereka takut untuk bersuara.
 Mantan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra berada di kubu yang dibenci kelompok elit politik tradisional Thailand di Bangkok. (Reuters/Chaiwat Subprasom ) |
Junta militer yang dikenal dengan nama Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban, mengatakan siap berunding dengan para mahasiswa.
“Kami akan berunding, tetapi jika mereka berkeras melakukan kegiatan mereka kami akan menyerahkan mereka kepada polisi,” ujar Winthai Suvaree, juru bicara pemerintah militer.
Pada Sabtu (14/2), puluhan pegiat mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di Bangkok untuk memprotes keputusan pemerintah militer mengundurkan pemilu dari tahun ini ke tahun 2016.
Empat pegiat ditahan, termasuk Siriwit Serithiwat seorang mahasiswa Universitas Thammasat Bangkok.
Siriwit dituduh melanggar undang-undang darurat miltier yang melarang pertemuan terbuka lebih dari lima orang, dan melanggar satu dokumen janji untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik yang terpaksa ditandatanganinya tahun lalu.
Setelah 12 jam ditahan polisi dia dibebaskan dengan membayar uang jaminan US$1.230 dan akan diadili pengadilan militer
Songtham Kaewpanpruek, seorang mahasiswa, menyamakan gerakan mahasiswa dengan pemberontakan tahun 1973 dan aksi penggerebekan militer terhadap protes mahasiswa sayap kiri pada 1976. Secara resmi, setidaknya 46 pengunjuk rasa saat itu tewas dan membuat Thailand diperintah oleh militer selama beberapa tahun.
Paman dan bibi Songtham dulu adalah pegiata mahasiwa di Universitas Thamassat yang merupakan pusat kegiatan politik pada 1970-1n.
“Kini kami membawa tongkat dari generasi 1976,” ujar Songtham, yang sejak beberapa minggu tidak tinggal di rumahnya untuk menghindari militer.
“Ada dosen yang mendukung kami, tetapi karena undang-undang darurat militer banyak yang tidak bisa mengungkapkan identitas mereka.”
(yns)