Jakarta, CNN Indonesia -- Parlemen Thailand pada Kamis (26/2) mendukung RUU yang akan membatasi demonstrasi politik.
RUU itu berkisar soal pemberlakuan pembatasan pada "waktu, tempat dan cara" demonstrasi tapi tidak ditujukan untuk melarang protes, kata Kolonel Winthai Suvaree, juru bicara pemerintah junta yang merebut kekuasaan di Thailand tahun lalu.
"Undang-undang ini tidak dirancang untuk mencegah protes. Justru bertujuan untuk mengatur pertemuan publik," kata Winthai kepada Reuters setelah pembacaan pertama RUU itu lolos dari parlemen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Militer Thailand menetapkan darurat militer pada Mei, beberapa hari sebelum mengkudeta pemerintah.
Darurat militer memberikan sejumlah larangan, termasuk larangan berkumpul lebih dari lima orang. Dan meski banyak kritikus yang mendesak agar darurat militer diangkat karena memukul industri pariwisata yang menyumbang sekitar 10 persen perekonomian Thailand, pemerintah junta tetap memberlakukan darurat militer.
Para kritikus juga mengatakan bahwa RUU soal demonstrasi ini adalah akal-akalan junta untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan membungkam perbedaan pendapat.
"Undang-undang ini akan menggantikan darurat militer dan mengendalikan protes politik yang merupakan pelanggaran hak-hak rakyat," kata Thanawut Wichaidit, juru bicara Front Persatuan untuk Demokrasi melawan Kediktatoran yang pro mantan perdana menteri Yingluck.
RUU soal demonstrasi itu harus terlebih dulu melewati pembacaan kedua dan ketiga sebelum akhirnya ditetapkan, namun Dewan Perwakilan Nasional yang anggotanya dipilih oleh militer sepertinya akan memberikan dukungan mereka.
Jika RUU disahkan menjadi undang-undang, maka rakyat Thailand akan dilarang melakukan protes di luar pengadilan, parlemen dan kantor perdana menteri, yang dikenal sebagai Government House, kata anggota parlemen Jate Siratharanont kepada Reuters.
RUU itu juga mengatakan polisi harus diberitahu tentang protes setidaknya 24 jam di muka dan perkumpulan antara pukul 18.00-06:00 dilarang kecuali mendapat izin, kata Jate.
Meski begitu, RUU menyatakan bahwa pihak berwenang membutuhkan izin dari pengadilan untuk membubarkan protes.
Matthew Smith, direktur eksekutif Fortify Rights, sebuah kelompok hak asasi manusia Asia Tenggara, mengatakan akan sulit bagi Thailand untuk berdalih bahwa hukum itu dibuat untuk kepentingan umum.
"Sebaliknya, ini menjadi langkah yang tidak konsisten dengan kewajiban HAM Thailand," kata Smith.
(stu)