Jakarta, CNN Indonesia -- Sisa Abu Daooh baru berusia 21 tahun ketika ia hamil dan suaminya meninggal dunia. Hidup tanpa penghasilan, Abu Daooh harus membesarkan anaknya.
Dalam kebudayaan Mesir yang konservatif, perempuan tidak boleh bekerja. Demi menyambung hidup, Abu Daooh menyamar menjadi laki-laki, 43 tahun lamanya.
"Untuk melindungi diri saya dari laki-laki dan kekasaran paras mereka dan menjadi target mereka karena tradisi, saya memutuskan untuk menjadi laki-laki. Mengenakan pakaian mereka dan bekerja berdampingan dengan mereka di desa-desa lain, di mana orang tidak mengenal saya," tutur Abu Daooh seperti dikutip Al Arabiya, Rabu (18/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesehariannya, Abu Daooh mengenakan jilbaab, pakaian tradisional yang longgar dan panjang dengan lengan lebar. Di kepalanya terlilit serban, penutup kepala tradisional yang sering disebut taqiyah.
Wanita berusia 64 tahun ini sudah menekuni banyak pekerjaan, beberapa di antaranya memerlukan otot yang kuat. Mulai dari menyemir sepatu, pertanian, hingga konstruksi, semua pernah ia geluti.
"Saya lebih memilih kerja berat, seperti mengangkat batu bata, kantong semen, dan membersihkan sepatu ketimbang mengemis di jalanan demi menghidupi diri sendiri dan putri saya dan anaknya," katanya.
Anaknya, Houda, dipinang oleh seorang pria yang kemudian menderita sebuah penyakit dan tak dapat bekerja. Abu Daooh akhirnya harus membanting tulang menyambung nafas keluarga anaknya.
"Ibu saya adalah satu-satunya penyokong keluarga. Setiap hari, ia bangun pukul 06.00 untuk mulai menyemir sepatu di Stasiun Luxor. Saya membawakan peralatan kerjanya karena ia sekarang sudah tua," ucap Houda.
Melihat kerja keras ini, Direktorat Solidaritas Sosial Luxor menganugerahi Abu Daooh dengan penghargaan wanita pencari nafkah.
Menurut media Mesir, Aswat Masriya, sekitar 30 pencari nafkah dalam rumah tangga Mesir adalah perempuan. Kendati demikian, kaum konservatif masih menganggap bahwa wanita bekerja adalah hal yang tabu.
(stu/stu)