Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Luar Negeri Kosta Rika, Manuel Gonzales, mengumumkan pemecatan Duta Besar Kosta Rika untuk Venezuela, Federico Picado Gomez, pada Rabu (25/3). Pemecatan dilakukan lantaran Picado memberikan komentar politis mengenai Venezuela dalam sesi wawancara dengan harian lokal, La Nacion, tanpa seizin Kosta Rika.
Seperti dilansir The Tico Times, Kamis (26/3), masalah ini bermula ketika La Nacion menerbitkan hasil wawancara melalui surat elektronik dengan Picado pada Minggu (22/3).
Dalam tanya jawab tersebut, Picado mengaku tengah meneliti masalah kebebasan pers di Venezuela. Ia juga menyatakan bahwa tingkat inflasi Venezuela yang tinggi adalah penyebab langkanya pasokan kebutuhan primer. Semua hal ini merupakan dampak dari faktor politik dan bisnis besar yang mencoba mengganggu stabilitas negara dan mencoreng kredibilitas pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Picado juga menilai langkah Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, untuk meminta dekrit kekuasaan penuh baginya guna membendung intervensi dari AS adalah keputusan yang tepat.
Setelah berita tersebut tersebar luas, beberapa jurnalis bertanya kepada Presiden Kosta Rika, Luis Guillermo Solis, mengenai kelayakan pernyataan Picado tersebut.
Menjawab pertanyaan para wartawan, Solis akhirnya berbicara dalam konferensi pers mingguan pada Selasa (24/3). Dalam pernyataannya, Solis tetap membela Picado.
"Tidak perlu netral untuk menjadi seorang duta besar," katanya. Menurut Solis, Picado didaulat menjadi dubes karena kemampuan diplomatiknya, bukan ideologi politiknya.
Namun, Solis menekankan bahwa opini Picado harus dipisahkan dari pendapat resmi Kosta Rika mengenai Venezuela.
"Dalam kasus Venezuela, satu-satunya juru bicara yang memiliki wewenang untuk memberikan pernyataan adalah menteri luar negeri. Kami memusatkan pernyataan di sana karena situasi sekarang ini sangat sensitif," ucap Solis.
Sementara itu, Gonzales menyatakan bahwa Picado tidak berdiskusi terlebih dahulu sebelum memberikan pernyataan.
"Isi pernyataan dan kemungkinan mengikuti wawancara tidak didiskusikan sebelumnya," kata Gonzales.
Kementerian Luar Negeri Kosta Rika akhirnya memberikan pernyataan resmi mereka terkait isu Venezuela.
"Situasi di Venezuela mengharuskan kita untuk tetap waspada terhadap evolusi peristiwa dan sinyal dari pentingnya, dalam demokrasi penuh, keseimbangan demokrasi kekuasaan dan menghasilkan kondisi yang sesuai sehingga oposisi bisa melakukan tindakannya dalam kerangka legalitas," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Ketegangan hubungan antara AS dan Venezuela memanas ketika Obama menandatangani perintah eksekutif yang mendeklarasikan bahwa Venezuela adalah ancaman bagi keamanan nasional AS, Senin (9/3).
Langkah ini ditempuh Obama terkait dengan perlakuan pemerintah Venezuela terhadap oposisi di negara itu. AS menilai para pejabat Venezuela kerap melanggar HAM terhadap pejabat oposisi dan melakukan praktik korupsi publik.
Perintah eksekutif yang ditandatangani Obama tersebut berisikan sanksi ekonomi dan pelarangan visa bagi tujuh pejabat Venezuela sehingga tidak dapat memasuki AS.
Sanksi ini akan berujung pada pembekuan aset tujuh pejabat publik Venezuela yang memiliki properti dan kepentingan mereka di AS. Para pejabat tersebut juga tak diizinkan masuk ke AS.
Lebih lanjut, sanksi ini juga melarang warga AS juga berbisnis dengan tujuh pejabat tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Nicholas Maduro murka. Sehari setelah pengumuman Obama, Maduro langsung meminta dekrit kepada parlemen agar dirinya dapat membuat undang-undang baru sehubungan dengan sanksi yang dijatuhkan AS.
Pada Minggu (15/3), parlemen Venezuela akhirnya memberikan kekuasaan penuh kepada Maduro selama sisa tahun 2015 demi mencegah campur tangan AS dalam pemerintahan.
Setelah keputusan tersebut dideklarasikan, tembok-tembok di seantero Venezuela dipenuhi dengan poster propaganda menolak intervensi AS.
Pemerintah sosialis Venezuela juga meluncurkan kampanye untuk meminta Obama mencabut sanksi yang dikeluarkan AS. Petisi tersebut kini sudah mendapat dukungan dari tiga juta orang.
Namun, pihak oposisi melaporkan bahwa rakyat Venezuela, terutama pegawai negeri, dipaksa untuk menandatangani petisi tersebut. Menganggap menganggap Maduro memanfaatkan tegangnya hubungan dengan AS untuk menghimpun kekuatan, membenarkan penindasan, dan mengalihkan perhatian dari masalah ekonomi Venezuela.
(stu/stu)