Jakarta, CNN Indonesia -- Korea Selatan menyerukan pembebasan terhadap empat warganya yang ditahan oleh Korea Utara. Dua di antaranya mengaku bahwa mereka bekerja sebagai mata-mata bagi Badan Intelijen Korea Selatan (NIS).
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan
CNN, Kim Kuk Gi dan Choe Chun Gil menuturkan kisahnya. Saat pertama kali ditemui dengan pendamping dari Korea Utara, mereka mengakui tuduhan spionase tersebut.
Dalam wawancara dengan pengawalan tersebut, kedua pria yang dibekuk pada Maret lalu ini memastikan bahwa mereka tidak mendapatkan arahan jawaban dari Korea Utara. Pengakuan mereka sama dengan pemberitaan di media-media Korea Utara sebelumnya. Namun, Korea Selatan membantah keras tuduhan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ditemui terpisah di sebuah ruang hotel di Pyongyang pada Minggu (3/5), kedua warga Korea Selatan tersebut tetap mengakui hal yang sama. Mereka bahkan memaparkan lebih jelas apa saja yang mereka lakukan bagi NIS.
Choe, 56, menuturkan bahwa ia sedang menjalani profesinya sebagai pebisnis di utara Tiongkok yang berbatasan dengan Korea Utara ketika ia dihubungi oleh NIS. Badan intelijen tersebut meminta Choe untuk menghimpun informasi dan materi dari Korea Utara.
Ia bekerja sebagai mata-mata di bawah naungan NIS selama tiga tahun sebelum akhirnya ditahan di dekat perbatasan dengan Tiongkok. Kala itu, Choe sedang berusaha menyelundupkan beberapa kotak materi dari dalam Korea Utara. Salah satu kotak tersebut berisi material yang dapat digunakan dalam aplikasi militer.
Sementara itu, Kim, 61, mengisahkan bahwa ia adalah seorang misionaris di Tiongkok utara yang sedang dijerat masalah keuangan saat NIS merekrutnya. Dengan masalah ekonomi yang sedang melandanya, Kim diiming-imingi bayaran untuk setiap informasi mengenai Korea Utara.
Jenis informasi yang dikumpulkan termasuk rencana perjalanan para pemimpin negara ke luar negeri dan salinan mata uang Korea Utara yang baru untuk dipalsukan.
Bekerja bagi NIS selama sembilan tahun, Kim mengaku telah meraup uang sebesar US$500 ribu atau setara Rp6,5 miliar sebelum akhirnya ditangkap ketika sedang menggali informasi dari seorang informan.
Selama ditahan, kedua warga Korea Selatan ini mengaku diperlakukan dengan baik. Mereka tidak ditahan di balik jeruji besi, melainkan di sebuah tempat milik agen yang menginvestigasi mereka.
Hingga saat ini, mereka belum diadili. Namun, mereka menjamin bahwa mereka akan menerima apapun hukuman yang dijatuhkan oleh Korea Utara.
Di tengah wawancara, Choe kerap emosional, apalagi ketika berbicara tentang keluarganya. Istri dan seorang putrinya kini sedang berada di Tiongkok, sementara anak perempuannya yang lain berada di Korea Selatan. Merasa menjerumuskan keluarganya ke dalam masalah, Choe meminta maaf.
Di lain pihak, Kim mengaku tidak memiliki keluarga yang perlu dirisaukan. Namun, ia mengingatkan warga Korea Selatan yang lain untuk tidak mengikuti jejaknya. Dalam perbincangan tersebut, Kim terus menyanjung pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un.
Seperti dilansir CNN, Korea Utara memang dikenal sebagai salah satu rezim paling represif di bumi. Dengan sitem peradilan yang buram, Korea Utara kerap menahan orang dengan pengakuan paksaan.
Pada 2013, seorang veteran Amerika yang bertempur dalam Perang Korea ditahan oleh Korea Utara. Ia dipaksa meminta maaf di hadapan media nasional dengan kalimat yang sudah diberitahukan oleh Korea Utara.
Sesi wawancara ini berlangsung hanya berselang sehari setelah Korea Utara menahan seorang warga Korea Selata yang berdomisili di New Jersey setelah memasuki wilayah mereka secara ilegal. Seorang warga Korea Selatan lain, Kim Jung-wook, tahun lalu dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup setelah dinyatakan bersalah atas tuduhan melakukan aksi melawan negara.
(stu/stu)