Baghdad, CNN Indonesia -- Setahun setelah mendeklarasikan kekhalifahan, menjadi jelas bahwa rahasia kesuksesan Abu Bakr al-Baghdadi adalah pasukan militer dan negara yang ia bangun dari sisa-sisa militer Saddam Hussein dan kesetiaan yang ia menangkan atau paksakan dari aliansi Muslim Sunni di Irak, Suriah dan sekitarnya.
Saat itu, kekhalifahan yang diklaim sepihak ini telah melebarkan sayap dari timur Suriah dan barat Irak ke sejumlah wilayah yang didera perang di Libya, Semenanjung Sinai di Mesir.
Baghdadi telah menyiapkan bidikannya pada Arab Saudi, tempat kelahiran Islam. Ketika itu pula ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) yang ia bangun meluncurkan sebuah majalah online bagi warga Turki yang rela berjihad dalam jumlah ratusan bahkan ribuan orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pidato Baghdadi, yang dihiasi memuat ayat Quran -- yang di luar konteks-- atau hadits Nabi --banyak yang mengatakan palsu-- terdengar seperti sebuah khotbah bagi para pengikutnya.
Cara perekrutan yang ia lakukan sangat jelas dan keras, yakni memanggil para pengikutnya untuk berjihad melawan Syiah, Kristen, Yahudi dan atheis Kurdi. Ia mencaci raja Arab yang dianggap telah mencemarkan kehormatan Sunni.
Pesan Baghdadi hanya satu. Ketika aturan-aturan Irak tidak dapat mencegah invasi Amerika Serikat pada 2003 yang akhirnya membawa negara tersebut jatuh ke tangan Syiah, dan tidak mampu mendorong pejihad melawan aturan minoritas Alawiah di Suriah, apalagi melepaskan Yerussalem dari Israel, ketika itulah ISIS harus mulai memimpin.
Dalam narasi religi semu dan sektarian ini, para jihadis ISIS memiliki misi untuk menyelamatkan kejatuhan dunia Arab dengan api dan pedang, seperti yang dipertunjukkan dalam video-video pemenggalan dan pengorbanan mereka.
Di samping itu, ada faktor lain yang mengkritisi kesuksesan ISIS. Selain aliansi dari kesetiaan para pengikut Saddam dan ekstremis Islam yang lahir ketika perang Irak, Baghdadi faktanya juga bergantung pada warga Sunni lokal dan suku setempat, sementara para pejihad pelopor lebih bergantung pada pejuang asing.
Meski kini pejuang asing mencapai ribuan, ISIS mengklaim bahwa pasukan ISIS 90 persen warga Irak dan 70 persen warga Suriah dalam dua benteng utama mereka. Di sana mereka memiliki sekitar 40 ribu pejuang dan 60 ribu pendukung.
Baghdadi juga mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad dan suku Quraish, sebuah kekayaan yang memperbolehkan dirinya untuk memaksakan bahwa "kita adalah tentara Nabi".
 Militan ISIS menebar teror dengan melakukan eksekusi massal. (Getty Images) |
Tentara SaddamAbu Mohammad al-Maqdisi, ahli teori jihad yang pernah menjadi mentor spriritual Abu Mussab al-Zarqawi, pemimpin Al-Qaidah untuk Yordania di Irak yang terbunuh karena serangan udara AS pada 2006, mengatakan sebelum ISIS mengambil alih wilayah Irak dan Suriah, kelompok itu telah menyapu habis hampir semua rival-rivalnya yang Sunni.
Mereka memberikan pilihan, mati atau tobat. Mereka juga mendeklarasikan perang Nusra Front, kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaidah di Suriah.
"Mereka kini menyadari Nusra Front adalah pembelot," ujar Maqdisi dalam sebuah publikasi online.
"Abu Bakr (al-Baghdadi) adalah warga Irak. Ia memiliki markas populer di Irak dan warga Irak loyal kepadanya, sementara Abu Mussab (zarqawi) merupakan warga Yordania dan dikelilingi oleh pejuang asing."
"ISIS menang secara militer karena mereka bergantung pada mantan anggota Partai Baath yang mengetahui medan," ujar Maqdisi. Namun pada akhirnya mereka bergantung pada ketakutan.
Abu Qatada al-Filistini, ideolog al-Qaidah lain yang menandatangani fatwa bersama Maqdisi untuk memerangi ISIS mengatakan, "negara ini menjadi kuat karena latar belakang militer, keamanan dan intelijen kepemimpinan mereka yang berupaya menanamkan teror".
"Mereka menanamkan kekuasaan mereka dengan darah dan pedang."Para mantan petinggi Al-Qaidah, Maqdisi, yang memiliki ikatan dengan Ayman al-Zawahiri, penerus Osama bin Laden, dan Abu Qatada yang dideportasi dari London untuk menghadapi dakwaan terorisme di Yordania melihat ada perbedaan dan kesamaan antara ISIS dan Al-Qaidah.
Namun, tidak seperti Al-Qaidah yang hanya mendirikan 'kerajaan' rapuh di bawah pendudukan AS sebelum diusir dari Provinsi Anbar, ISIS justru kian mengakar. Abu Qatada berpendapat bahwa pendirian negara ISIS ini mungkin memuat sesuatu yang justru merusak negara itu sendiri.
"Mereka adalah Baath dalam arti kediktatoran dan keamanan," ujar Abu Qatada dalam sebuah publikasi online. "Konflik mereka dengan kelompok Islam, seperti Nusra lebih besar dari konflik mereka dengan Hashd al-Shaabi, koalisi militan Syiah di Irak."
Strategi lebih luasDalam pidato yang dirilis pada 14 Mei 2015, tak lama setelah laporan yang belum terkonfirmasi mengatakan Baghdadi terluka parah akibat serangan udara AS, ia mengatakan, "Islam tidak pernah satu hari pun menjadi agama yang damai, Islam adalah agama peperangan."
Serangan para pengikut Baghdadi pada Syiah dan sejumlah aliansi di Irak akan membuat para "pengikut Perang Salib (Crusader) berdarah dan memperkuat pondasi Khalifah," melawan Alawiyah Suriah dan Syiah Houthi di Yaman.
Mungkin ini terdengar omong kosong bagi orang luar. Namun bagi para pengikut Baghdadi, ISIS seringkali berhasil mengusir Syiah keluar dari kota.
Kesuksesan lainnya juga terlihat melalui ekspansi ISIS yang kian melebar. Pergerakan ISIS kini sudah merambah luas hingga Libya dan Sinai, termasuk teritori Nigeria hingga Kaukasus.
ISIS juga terampil memanfaatkan perpecahan sektarian. Misalnya saja pengeboman yang baru-baru ini terjadi di masjid Syiah di Arab Saudi. Kejadian itu menjadi sebuah percobaan untuk memperluas perpecahan antara mayoritas kerajaan Sunni dan minoritas Syiah yang termarjinalisasi di Saudi.
Inti dari kekhalifahan yang dibangun Baghdadi sejauh ini memang masih terbatas pada wilayah-wilayah Sunni. Upaya untuk masuk ke wilayah Kurdi atau Syiah seringkali gagal lantaran mendapat perlawanan.
 ISIS merebut kota-kota di Irak dan Suriah, menyapu bersih rival-rival mereka di kota tersebut. (Reuters/Thaier Al-Sudani) |
ISIS berkembang baik di wilayah Irak dan Suriah. Pasalnya, belum ada keberanian dari warga Sunni sendiri untuk mencabut kewenangan ISIS di sana dan hal itu tidak akan terjadi selama mereka takut atas penindasan dari Baghdad dan Damaskus yang lebih brutal dari ISIS.
Maqdisi menjelaskan hal tersebut dengan mengutip pepatah Arab, "apa yang memaksamu meminum pil pahit ini, jika bukan karena pil yang lebih pahit lainnya?"
Kekejaman ISIS ini sistematik. Berkat pelajaran dari komandan Baath, mereka menjadi pasukan militer yang cepat dan fleksibel. Ketika mereka bergerak ke kota Sunni, ISIS akan membersihkan sebagian besar lawan mereka yang menolak berbaiat dan menyapu rival mereka yang lainnya.
Mereka juga terbilang cepat untuk menduduki sumber-sumber lokal, mulai dari energi hingga industri makanan dan perpajakan. Semuanya untuk menyokong keuangan mereka dan menjadikan hal itu sebagai perlindungan dan pembuat lapangan pekerjaan.
Mereka kemudian tumbuh kaya dengan menjual minyak, memperdagangkan sandera, dan menjual barang antik selundupan, kata Hisham al-Hashemi, seorang peneliti Irak yang kini mendalami ISIS. Menurutnya, estimasi kekayaan kelompok ini mencapai hingga US$8-9 miliar.
Kepemimpinan yang terstrukturISIS memiliki pemerintahan yang, bisa dikatakan, stabil. Di balik Baghdadi, ada sososk kepemimpinan yang dalam dan terstruktur dan Baghdadi bisa secara mudah digantikan.
"Jika Baghdadi terbunuh, akan selalu ada yang lain," ujar Abu Qatada. "Mereka yang keluar dari kegelapan dan bayang-bayang itu banyak."
Baghdadi yang memiliki gelar PhD dari Universitas Islam Baghdad di jurusan sejarah Islam ini memiliki sembilan anggota dewan penasehat dan sekitar 23 emir yang berkuasa di sejumlah wilayah Sunni. Mereka mengoperasikan kementerian mereka masing-masing.
Menurut Baghdadi, semua yang memiliki ikatan dengan ISIS bukan merupakan figur yang kuat. Abu Ali al-Anbari, jenderal di bawah kepemimpinan Saddam, memiliki kekuatan sesungguhnya. Selain itu, figur lain yang juga kuat adalah Abu Muslim al-Turkmani, mantan kolonel intelijen militer yang dilaporkan terbunuh dalam serangan udara pada 2014. Keduanya bersama Baghdadi di Bucca.
"Memiliki mantan anggota Baath dalam kepemimpinan memberikan dirinya sebuah keuntungan militer dan keamanan," ujar Hashemi. "Mereka dapat memberanikan perekrutan di antara suku-suku mereka dan mereka yang sebagian besar adalah suku besar Irak."
Setahun serangan udara oleh koalisi pimpinan AS ini melukai ISIS, namun tidak cukup melumpuhkan kekhalifahan Baghdadi yang tetap menjadi ancaman besar.
"Mereka kehilangan banyak orang, mereka kalah dalam peperangan darat dan kehilangan sebagian wilayah penjualan minyak. Tapi mereka masih di sana dan masih berbahaya," ujar diplomat yang berbasis Irak.
(ran/den)