Jakarta, CNN Indonesia -- Penembakan di Gereja Episkopal Methodist Afrika Emanuel di Charleston, Carolina Selatan, pada Rabu (17/6) malam, kembali menambah panjang rangkaian teror senjata api di Amerika Serikat. Namun insiden ini juga ditambah dengan bumbu rasisme, karena dilakukan oleh remaja kulit putih dan ditujukan ke gereja warga kulit hitam. Sebelumnya, isu rasial biasanya melibatkan penembakan warga kulit hitam oleh polisi.
Seusai insiden, Presiden Barack Obama mengecam tragedi yang menewaskan sembilan orang ini, termasuk pastor, pustakawan dan jemaat gereja. Dalam pernyataannya, Obama menyatakan bahwa peristiwa ini memperpanjang daftar orang-orang tak bersalah yang tewas karena mudahnya mendapatkan pistol di AS.
(
Baca juga: Obama: Kekerasan Bersenjata di AS Terlalu Sering)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serangan semacam ini bukan sekali terjadi. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir saja, setidaknya 87 penembakan terjadi di Amerika Serikat, yang dilakukan warga sipil.
Serangan paling anyar adalah penembakan yang dilakukan Craig Stephen Hicks terhadap tiga mahasiswa Muslim di Chapel Hill, Carolina awal Februari lalu. Hicks yang mengaku ateis menembak Deah Shaddy Barakat, 23, Yusor Mohammad Abu-Salha, 21, dan Razan Mohammad Abu-Salha, 19, hingga tewas dengan pistol yang dimilikinya.
Hicks, yang kini terancam hukuman mati, diketahui memiliki banyak senjata api di rumahnya. The Guardian melaporkan kondominium Hicks mirip dengan gudang senjata, berisi empat pistol tangan, dua senapan berburu dan enam senapan serbu, salah satunya adalah senapan militer AR-15.
(
Baca juga: Rumah Pembunuh Muslim di AS Persis 'Gudang Senjata')
Penembakan lain yang mungkin tidak pernah dilupakan dunia adalah ketika Adam Lanza, yang saat itu masih berusia 20 tahun, menembak dengan membabi buta murid Sekolah Dasar Sandy Hook in Newtown, Connecticut, menewaskan 20 siswa dan 6 orang dewasa.
Riset yang dipublikasikan di jurnal Behavioral Sciences and the Law menyebutkan bahwa tahun 2012 saja terdapat sebanyak 11.622 orang tewas dan 57.077 lainnya terluka dalam tindakan kekerasan dengan senjata api yang disengaja di AS.
Riset tersebut juga menunjukkan bahwa hampir 9 persen dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat memiliki masalah emosional, pemarah, mudah dipancing untuk berkelahi dan memiliki paling tidak sepucuk senjata api.
(
Baca juga: Riset: 22 Juta Warga AS Emosional dan Punya Senjata)Perdebatan soal kontrol senjata menyeruak sejak banyaknya kasus penembakan di sekolah. Namun hingga saat ini, belum ada perubahan berarti dalam Undang-undang Amerika Serikat soal kepemilikan dan kontrol senjata.
Setelah penembakan di sekolah di Newtown, Connecticut pada 2012, Obama telah meluncurkan usulan kontrol senjata dengan agresif, namun usahanya sebagian besar gagal di Kongres.
 Insiden di Gereja Charleston membuat isu soal rasisme dan kontrol senjata di AS kembali disorot. (Reuters/Brian Snyder) |
Beberapa program pengendalian senjata Obama meliputi pemeriksaan latar belakang penjualan senjata, kembali melarang penjualan senjata militer, melarang penjualan magasin senapan dengan kapasitas lebih dari 10 putaran dan memperketat hukuman bagi para penjual senjata secara ilegal.
"Warga AS memang memiliki kebebasan memiliki senjata berapi, namun keamanan anak adalah tanggung jawab kita bersama," ujar Obama.
Namun, program program pengendalian senjata yang diajukan Obama kepada Kongres tidak ada satu pun yang disetujui hingga saat ini. Pada Januari 2013 akhirnya melakukan hak veto dengan menandatangani 23 program eksekutif tentang pengendalian senjata.
Program eksekutif itu termasuk sebuah memorandum yang mengharuskan agen-agen federal AS membuat data yang relevan dalam kepemilikan senjata, memorandum yang mengharuskan pelacakan terhadap senjata yang ditemukan dalam penyelidikan krimina, dan memorandum yang menyerukan agar Pusat Pengendalian Penyakit AS melakukan penelitian terkaigt penyebab dan pencegahan kekerasan bersenjata.
Obama menyatakan program eksekutif ini dimaksudkan untuk menguntungkan "semua orang Amerika yang mengandalkan pemerintah dalam menjaga keamanan."
Meski demikian, tanpa persetujuan Kongres, veto tersebut tak cukup kuat untuk membatasi maraknya kepemilikan senjata oleh warga sipil AS.
Kolumnis Guardian, Gary Younge menilai bahwa tanpa adanya pengendalian senjata, nyawa warga kulit hitam akan terus berjatuhan di AS. "Hal yang membuat rasisme di AS sangat mematikan adalah karena begitu mudahnya warga memiliki senjata," kata Younge, Kamis (18/6).
Younge menilai bahwa setelah kejadian ini, percakapan usang soal pengendalian senjata akan kembali mencuat, namun respon parlemen terhadap isu ini tak akan berubah. "Kondisi ini tak akan berubah," kata Younge.
(ama/stu)