Jakarta, CNN Indonesia -- Semenjak kelompok militan ISIS mendeklarasikan diri sebagai Negara Islam dan berperang di Irak dan Suriah, banyak orang dari berbagai negara yang bergabung dengan kelompok ini. Tak terkecuali para wanita dari negara-negara Barat yang tertarik bergabung dan menjalin romansa dengan para pejuang ISIS.
Dikisahkan Karen--bukan nama sebenarnya--ia meninggalkan Amerika Serikat saat masih remaja dan baru saja lulus SMA. Ketika dia menuju Suriah melalui Turki, Karen belum genap satu tahun menganut Islam. Perjalanannya ke Suriah tak lain untuk menikahi salah satu prajurit ISIS yang dia kenal secara daring di media sosial.
(Baca juga:
Siapa Saja Warga Barat yang Bergabung dengan ISIS?)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak lama setelah menganut Islam, Karen terinspirasi dengan ISIS dan mulai mencari tahu tentang kelompok militan ini melalui internet. Karen berkenalan dengan seorang pria bernama Abu Muhammad, bukan nama sebenarnya, seorang anggota ISIS. Keduanya pun kerap bercakap melalui media sosial Twitter, Ask.fm, Kik, Surespot dan Telegram.
Hubungan di dunia maya ini bisa jadi penuh risiko, namun bagi Karen, kesan berbahaya itu yang membuatnya bersemangat.
Tak beberapa lama berselang, pria ini mengajak Karen menikah dan memintanya bergabung bersama ISIS di Suriah. Tak hanya itu, Karen diminta meninggalkan seluruh identitas lamanya dan memulai hidup yang baru dengan identitas yang baru pula.
Saat Karen menyetujui dan merencanakan perjalanan ke Suriah, Karen meminta dikenalkan dengan wanita dari negara Barat lain yang telah bergabung dengan ISIS. Namun, calon suaminya itu selalu mengelak, bahkan terus memaksanya dengan menyatakan bahwa semakin lama, semakin sulit memasuki Suriah.
Meski begitu, rencana yang diutarakan sang calon suaminya nampak terlalu sederhana dan penuh risiko. Karen diminta menaiki bus dari bandara di Istanbul menuju Urfa, yang memakan waktu hingga 18 jam perjalanan. Ketika sampai di Urfa, Karen akan dijemput oleh sang calon suami, atau temannya. Karen tak lantas percaya dengan rencana tersebut.
Setibanya di Turki, setelah menghabiskan US$3.200 atau sekitar Rp42 juta, Karen tidak yakin akan semua rencananya. Terlebih, ketika mengetahui dia telah berada di Turki, sang calon suami semakin agresif membicarakan tentang seks, sesuatu yang tak ingin dibicarakannya sebelum menikah.
"Berbicara dengannya, saya semakin yakin bahwa semua ini tidak benar," kata Karen, dikutip dari The Guardian, Rabu (24/6).
Dengan berbagai pertimbangan, Karen memutuskan kembali ke AS. Kepada The Guardian, Karen menyatakan bahwa dia bahkan tidak yakin calon suaminya itu seorang anggota ISIS.
Karen memiliki latar belakang serupa dengan pengantin ISIS lainnya. Lahir dari keluarga kelas menengah, Karen mengenyam pendidikan yang tinggi. Namun, Karen tidak memiliki pandangan seperti remaja usia 16 tahun umumnya. Menjadi satu-satunya Muslim di keluarga Kristen, Karen menjalani agama dengan taat namun berpandangan konservatif.
Pandangan seperti ini sejalan dengan doktrin yang diembuskan oleh para jihadis, dengan ideologi utama menentang Barat.
Setelag kembali ke AS, impian Karen akan sebuah negara Islam yang sebenarnya telah sirna. "Saya perempuan berusia 18 tahun yang dengan naif bermimpi akan utopia negara Islam, yang mungkin tak akan pernah berdiri di planet ini," kata Karen.
"Tak akan pernah ada pemerintah yang dipimpin oleh manusia yang bertanggung jawab, yang bisa menghindari korupsi dan benar-benar menerapkan syariah. Syariah adalah sebuah sistem yang sempurna yang melindungi semua orng, bukan hanya soal rajam dan potong tangan," ujar Karen.
Janda ISIS hidup gratisLain halnya dengan Umm Umar, janda ISIS yang dengan bangga menyatakan suaminya adalah seorang martir. Menurutnya, kehidupan di Suriah sangat menyenangkan dan jauh berbeda dengan kehidupannya di Inggris.
"Hal yang paling baik yang pernah terjadi pada saya adalah ketika saya melewati perbatasan Turki (untuk memasuki Suriah). Keimananmu akan membuncah," cuit Umm Umar dalam akun Twitter miliknya, ketika dia bercakap dengan The Guardian.
(Baca juga:
Alasan Puluhan Wanita Inggris Tergiur Gabung ISIS)
"Kamu akan berdosa jika tetap berada di Inggris, ketika ada khalifah (negara) Islam di wilayah lain. Berutanglah jika kamu memerlukannya, dan tak perlu dikembalikan, harta orang kafir halal untuk kita," cuit Umm Umar melanjutkan.
Kepada The Guardian, Umm Umar menceritakan masa lalunya di Inggris. Tumbuh besar dari keluarga imigran keturunan Bangladesh, dia kerap terasingkan dan di-
bully.
Umm Umar, yang saat itu baru berusia 16 tahun, pergi dari rumahnya di Inggris dengan hanya meninggalkan sepucuk surat. Sesampainya di wilayah ISIS, Umm Umar dinikahkan dengan pejuang yang berasal dari desa yang sama dengan keluarganya di Bangladesh.
"Dia sangat perhatian pada saya. Namun baru dua bulan menikah, dia tewas di medan perang. Kini saya menjanda dan dihormati," kata Umm Umar.
Kehidupan Umm Umar bahkan membuat iri wanita ISIS lainnya, Umm Zahra, yang juga berasal dari negara barat.
"Kamu tidak perlu membayar APAPUN, jika kamu seorang istri pejuang yang mati syahid," kata Zahra.
Kini, Umm Umar tengah menjalani masa berduka atas kematian suaminya selama tiga bulan.
Namun cerita pengantin ISIS ini, berlawanan dengan kisah lain yang juga diperoleh media sebelumnya.
Abu Ibrahim al-Raqqawi adalah penggagas kelompok aktivis bernama Raqqa is Being Slaughtered Silently tinggal di Raqqa, yang disebut sebagai “ibu kota kekhalifahan” ISIS.
Bagi perempuan, kata al-Raqqawi, kota Raqqa seperti penjara besar. Perempuan di bawah 45 tahun tidak diperbolehkan keluar dari Raqqa. Menurut data yang dihimpun kelompok aktivis al-Raqqawi, ada lebih dari 270 kasus gadis dipaksa menikahi tentara ISIS.
"Tentara ISIS sangat gila seks. Beberapa dari mereka memiliki dua dan tiga istri, dan belum cukup dengan itu, mereka masih mencoba mencari budak dari gadis Kurdi," ucap Raqqawi.
Pergi karena terasingMenurut pakar dari King College London, Dr Katherine Brown, para wanita ini meninggalkan rumah dan kehidupan mereka di negara Barat untuk bergabung dengan ISIS di Suriah karena terasing di negara sendiri.
Brown membandingkan fenomena ini dengan orang-orang yang meninggalkan rumah mereka untuk bergabung dengan Uni Soviet pada dekade 1950-an dan 60-an. Mereka sebenarnya tidak ingin berperang, namun menginginkan kehidupan yang baru di negara Soviet.
(
Baca juga: Tiga Gadis Inggris yang Hilang Sudah Berada di Ibu Kota ISIS)
Hal yang menarik, menurut Brown, adalah mudahnya mereka percaya ketika ISIS menyatakan, "Anda bisa hidup di negara yang sempurna. Anda hanya perlu berupaya lebih keras."
"Ada dorongan totaliter di balik ini. Dengan bergabung dengan ISIS, para wanita berpikir mereka dapat menjadi orang yang sempurna," kata Brown.
Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Melanie Smith, pakar dari Institut Dialog Strategis, yang menyebut bahwa "utopia khalifah yang ideal" adalah salah satu "faktor penarik utama" yang membuat sejumlah wanita di atas nekat berangkat ke Suriah.
"Mereka membayangkan sebuah dunia, di mana tidak kemiskinan dan ketidaksetaraan, diatur di bawah keadilan sempurna dan berasal dari ajaran Tuhan untuk kepentingan umat. Ini adalah interpretasi hukum Islam tradisional," kata Smith.
Namun, Smith juga menyatakan bahwa rasa keterasingan juga menjadi faktor utama yang membuat mereka ingin bergabung dengan ISIS.
"Propaganda ISIS dirancang untuk menarik orang-orang yang merasa terasing di rumah sendiri," kata Smith.
(ama/stu)