Jakarta, CNN Indonesia -- Kota Ampang Tasik Permai, yang terletak di tepi pusat kota Kuala Lumpur, merupakan salah satu kantong terbesar pengungsi Rohingya di Malaysia. Beberapa pengungsi Rohingya sudah berada di daerah ini selama lebih dari 20 tahun, setelah pertama kali menjejakkan kaki di Malaysia pada dekade 1980-an.
Terdapat lebih dari 150 ribu pengungsi dan pencari suaka di Malaysia, sebanyak 90 persen di antaranya adalah etnis Rohingya yang melarikan diri dari diskriminasi dan kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Tinggal bertahun-tahun di Malaysia, sebagian pengungsi masih tetap mempertahankan cara hidup tradisional mereka, sementara sebagian lainnya menikah dengan etnis Melayu dan mulai mengadopsi budaya lokal. Tak sedikit pula keturunan Rohingya telah lahir di daerah ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bulan Ramadan tahun ini mereka lalui seperti tahun-tahun sebelumnya, beribadah puasa di negeri orang sambil menunggu kepastian soal permintaan suaka yang mereka ajukan.
Untuk mengobati rasa rindu terhadap kampung halaman, sebagian pengungsi memilih menyiapkan menu berbuka puasa dengan hidangan tradisional mie yang biasa mereka santap di kampung halaman.
"Makanan seperti ini hanya bisa ditemukan di kampung kami, disiapkan oleh orang-orang kami. Saya datang jauh-jauh untuk memakan ini," kata seorang pria Rohingya, dikutip dari Channel NewsAsia, Jumat (26/5).
Untungnya, warga Melayu lokal sudah lama menerima kehadiran etnis Rohingya di wilayah ini meskipun mereka masih menyandang status pengungsi dan bekerja secara ilegal di Malaysia.
"Mereka berada di sini untuk mencari nafkah, mereka tidak menyulitkan kami," kata seorang wanita setempat.
"Ini adalah anak-anak Rohingya, mereka bercampur dengan warga Melayu dan anak-anak Indonesia. Tidak ada masalah, mereka tidak bertengkar," kata seorang pria setempat.
Selama bertahun-tahun, pengungsi Rohingya tinggal berdampingan dengan warga Muslim Melayu yang tinggal di Malaysia. Mereka berdoa bersama, dan mempelajari bahasa Melayu lokal.
Bagi sebagian pengungsi, Malaysia sudah seperti rumah mereka sendiri, meskipun mereka berharap mendapat hak untuk bekerja secara legal. Dengan status pengungsi, meskipun terdaftar di UNHCR, mereka tidak diperbolehkan untuk bekerja di Malaysia. Bagi sebagian lainnya, mereka tetap rindu dengan kampung halaman dan berharap dapat kembali suatu hari nanti ketika situasi telah membaik dan diskriminasi terhadap mereka berakhir di Myanmar.
"Di sana tahan tanah leluhur kami, tanah yang damai. Insya Allah, perdamaian akan kembali, dan semuanya menjadi lebih baik," kata seorang pria Rohingya yang tinggal di masyarakat Malaysia.
"Jika saja Malaysia memungkinkan mereka untuk bekerja, hanya itu yang mereka minta. Agar mereka dapat memberi makan keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka," kata Aegile Fernandex, Direktur Tenaganita Women's Force, sebuah lembaga non-pemerintah pemerhati pengungsi.
Meskipun dilarang bekerja, banyak pengungsi yang mencari penghidupan dengan melakukan pekerjaan kasar yang tidak dilakukan oleh penduduk setempat. Hanya agar mereka memiliki uang untuk bertahan hidup dan secercah masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
(ama/ama)