Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Hafizd Mukti adalah wartawan di CNN Indonesia. Tulisan opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.Julukan "American Evita" disandingkan kepada Hillary Clinton sejak awal 2004. Meskipun gagal menjadi orang nomor satu negara adidaya Amerika Serikat saat bersaing dengan Barack Obama di 2008, Hillary digadang menjadi satu-satunya perempuan yang dianggap paling serius menuju jabatan tertinggi di Amerika Serikat, bahkan hingga kini, dan itu terbukti.
Bisa dikatakan, Hillary adalah ancaman paling berbahaya yang datang dari seorang perempuan dalam bursa calon presiden Amerika Serikat. Namun kemudian, pemilihan presiden Amerika Serikat 2012 menjadi ajang terakhir Hillary untuk bergelut di dunia politik dan memilih untuk menjadi manusia biasa, saat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harapan rakyat Amerika untuk bisa memiliki presiden perempuan untuk yang pertama kalinya dalam sejarah mulai terlihat dalam perjalanan karier politik Hillary sejak 2004. Hillary yang saat itu seorang Senator menjadi harapan, dimana anggota Partai Demokrat banyak membuka ruang bagi Hillary menuju
First Lady dalam artian yang sebenarnya.
Namun apakah kemudian Amerika Serikat telah siap dipimpin seorang wanita?
Secara hitungan matematis lewat kesetaraan gender, demokrasi, serta prinsip hidup Amerika Serikat yang pragmatis juga memiliki kemampuan intelektual, perempuan pantas bersaing dengan lelaki, terlebih jika itu ditujukan kepada Hillary. Namun, kesiapan menjadi seorang presiden bagi Hillary dipertanyakan lewat salah satu pernyataan istri Presiden Bill Clinton itu yang paling terkenal.
"If I'd married him, he'd be a president," -Hillary- (Anderson, 2004:10)
Hillary adalah ancaman paling berbahaya yang datang dari seorang perempuan dalam bursa calon presiden Amerika Serikat. |
Apa yang dikatakan Hillary kepada Bill Clinton adalah sebuah guyonan, namun tersirat, apakah kemudian perempuan Amerika hanya menjadi penyokong bagi laki-laki di Amerika Serikat untuk menjadi presiden?
Keadaan pun berubah, konvensi Partai Demokrat 2008 membawa Hillary bersaing dengan Barack Obama untuk menjadi kandidiat presiden, dan harapan muncul bagi kaum perempuan. Namun, teknis dan peraturan konvensi Partai Demokrat dianggap sebaga salah satu alasan yang membuat Hillary kalah yang urung membuatnya maju bersaing (sistem 'Winner Takes All’ - Sheckels 2009:21).
Apakah di 2012, isu perempuan masih kalah menarik ketimbang isu rasial yang membuat (setidaknya salah satu alasan) Obama menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat, bahkan untuk dua periode.
Perlu setidaknya 12 tahun bagi Hillary untuk akhirnya menyatakan diri maju menjadi
First ‘President-Who Is-’ Lady. Menjadi pertarungan awal bagi Hllary, atau setidaknya ia mewakili perempuan di Amerika Serikat bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama dan seakan menasbihkan bahwa konsep
American Dream adalah sebuah kebenaran.
Setelah seorang Obama dari kulit hitam mampu menjadi
The President of The USA, maka tingkat selanjutnya adalah perempuan yang akan memimpin Paman Sam, sehingga batasan takdir fisik sudah secara harfiah terlampaui. Dengan konsep awal demokrasi modern Amerika Serikat yang dibawa saat kepemimpian Andrew Jackson di kurun dekade 1830-1840, gebrakan demokrasi hanya segelintir di masanya.
Sebut saja Shirley Chisholm, perempuan Afrika-Amerika pertama yang menjadi anggota kongres tahun 1968, dan yang pertama menjadi perempuan berkulit hitam sebagai kandidat presiden di 1972 lewat Partai Demokrat dan memberikan terobosan hebat untuk kesetaraan gender. Meski kemudian Obama yang berhasil menerobos isu rasial di 2008, Amerika belum berhasil mendobrak isu gender di level yang lebih tinggi, hingga muncul Hillary untuk kedua kalinya berkontestasi di 2016 tahun depan.
Mengutip sepenggal kalimat dari George McGovern seorang pendukung Hillary, mantan Senator dari Demokrat dan nominasi presiden 1972, menyatakan sulit negaranya menerima perempuan untuk berada di ruang kantor dengan level paling tinggi di tanah Amerika.
“I wish that weren’t true, I’d love to see Hillary as presiden. It will be easier to elect a black man president than a woman.” Ungkapan McGovern yang dikeluarkan saat Hillary melakukan percobaan pertama di 2008 dalam konvensi Partai Demokrat melawan Obama, mungkinkah dipatahkan?
Lantas, jika perempuan sekelas Hillary tidak bisa atau tidak mendapat dukungan, lalu perempuan seperti apa yang kemudian akan mencatatkan namanya dalam sejarah Amerika Serikat sebagai seorang presiden perempuan pertama? Sulit membayangkan Amerika Serikat, sebuah negara adidaya di bawah komando seorang perempuan, tapi bukan tidak mungkin.