PBB dan HRW Kecam Vonis Mati terhadap Anak Gaddafi

Ranny Utami/Reuters | CNN Indonesia
Rabu, 29 Jul 2015 11:31 WIB
Dewan HAM PBB menilai vonis hukuman mati yang dikeluarkan pengadilan Libya terhadap anak dan para mantan pejabat Gaddafi tidak adil dan cacat hukum.
Vonis terhadap al-Islam dilakukan secara in absentia karena yang bersangkutan telah empat tahun ditahan oleh mantan pemberontak di wilayah Zintan yang tidak tunduk pada pemerintahan pusat di Tripoli. (Reuters/Stringer)
Jenewa, CNN Indonesia -- Dewan HAM PBB mengaku 'sangat terganggu' dengan putusan hukuman mati yang dijatuhkan dalam persidangan terhadap anak serta para pembantu mantan pemimpin Libya Muammar Gaddafi.

"Kami telah mengawasi proses penahanan dan persidangan, dan menemukan bahwa standar persidangan yang adil telah gagal dilakukan," bunyi pernyataan Dewan HAM PBB, dikutip dari Reuters, Selasa (28/7).

Kegagalan dalam menyelenggarakan persidangan yang adil ini terlihat dari kurangnya akses bagi terpidana kepada kuasa hukum, adanya klaim penganiayaan dan persidangan yang dilakukan secara in absentia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain Dewan HAM PBB, kecaman juga datang dari kelompok HAM Human Rights Watch yang mengatakan bahwa persidangan tersebut cacat hukum dan merusak kredibilitas lembaga peradilan.

Berdasarkan temuan HRW, kuasa hukum terpidana tidak memiliki akses penuh terhadap berkas perkara. Selain itu, mereka juga tidak bisa menemui klien secara pribadi. Bahkan dua kuasa hukum menyatakan mundur dari perkara setelah menerima ancaman.

Wakil Direktur HRW untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Joe Stork dalam pernyataan tertulis mempertanyakan independensi hakim dan jaksa pengadilan Libya. Menurutnya, semua orang berhak mendapat keadilan yang layak, meski ia telah melakukan kejahatan berat sekalipun.

"Sidang ini dilakukan di tengah konflik bersenjata, dan negara terbagi karena perang di mana impunitas telah menjadi suatu norma. Korban kejahatan berat yang dilakukan selama pemberontakan 2011 layak mendapat keadilan, tetapi itu hanya bisa dilakukan melalui proses yang adil dan transparan," ujar Stork.

Seperti diketahui, pengadilan Libya memutus hukuman mati terhadap seorang anak Muammar Gaddafi, Saif al-Islam dan delapan mantan pejabat Gaddafi pada Selasa. Kedelapan mantan pejabat Gaddafi tersebut termasuk di antaranya adalah mantan kepala intelijen Abdullah al-Senussi dan mantan Perdana Menteri Baghdadi al-Mahmoudi.

Mereka semua dihukum mati atas tuduhan yang sama, yakni kejahatan perang dan tindakan kekerasan terhadap protes damai di revolusi Libya pada 2011, yang menandai berakhirnya kekuasaan Gaddafi.

Sementara itu, delapan mantan pejabat lainnya dihukum penjara seumur hidup, dan tujuh lainnya dihukum masing-masing 12 tahun penjara. Empat pejabat lain dibebaskan. Semua narapidana berada dalam tahanan peradilan, kecuali al-Islam.

Vonis terhadap al-Islam dilakukan secara in absentia karena yang bersangkutan telah empat tahun ditahan oleh mantan pemberontak di wilayah Zintan yang tidak tunduk pada pemerintahan pusat di Tripoli.

Sebelum diadili oleh pengadilan Libya, Pengadilan Kriminal Internasional atau ICC ingin mencoba mengadili al-Islam dan Senussi di Den Hag, Belanda. ICC tidak memperbolehkan hukuman mati sebagai vonis mereka.

Namun, pada 2013, hak untuk mengadili keduanya jatuh kepada Libya. Muncul keraguan di benak publik tentang imparsialitas dan kompetensi sistem peradilan yang berkembang di Libya.

Kuasa hukum asal Inggris yang disewa untuk mewakili al-Islam sebelum ICC mengaku bahwa persidangan sebenarnya sudah direncanakan untuk menghukum mati. "Seluruhnya sudah tidak sah dari awal hingga akhir. Eksekusi ini secara hukum disangsikan," ujar John Jones.

Pengadilan terhadap al-Islam dan lainnya dimulai pada April 2014, sebelum pemerintahan di Libya terpecah menjadi dua kelompok besar di mana masing-masing kelompok mengaku sebagai pemerintah yang sah pada Agustus 2014.

Sebelum diimplementasikan, putusan pengadilan Libya ini harus dikonfirmasi oleh Mahkamah Agung Libya terlebih dahulu. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER