Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan diplomat Australia yang kini berprofesi sebagai pengusaha, Patrick Alexander ditahan pihak kepolisian di kawasan Tangerang, Banten, pada Senin (3/8) atas tuduhan penggelapan uang, yang melibatkan aktor Jeremy Thomas.
Kasus penggelapan uang ini ternyata bukan pertama kali menyeret Alexander. Media Australia, Sydney Morning Herald memaparkan bahwa pada 2013 lalu, Alexander sempat juga dijebloskan ke dalam penjara Cipinang atas kasus serupa.
(
Baca juga: Polda Bali Tangkap Mantan Diplomat Australia)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari SMH, seperti banyak ekspatriat kaya, Alexander menikmati gaya hidup mewah di Indonesia. Alexander cukup dikenal di lingkungan sosialita Jakarta. Bersama istrinya yang masih muda, Ara, kehidupan Alexander diberitakan diwarnai berbagai pesta yang meriah, rumah besar dengan harga selangit dan layanan prioritas utama ketika berpergian.
Namun, kehidupan mewah Alexander tersebut seketika lenyap ketika pada pertengahan Maret 2013, polisi menangkapnya atas tuduhan penggelapan uang, setelah para pemberi pinjaman untuk proyek batu bara yang gagal di pulau Sumatera mulai mempertanyakan uang mereka yang dipinjam Alexander.
Hanya lima hari sebelum penangkapannya, Alexander merayakan ulang tahun ke-60 di rumah mewahnya bersama dengan teman-temannya. Pesta tersebut dinilai lebih tenang dibanding ulang tahun sebelumnya, yang diselenggarakan di Hotel Mulia, dihiasi karpet merah dan dilengkapi 1.000 kamar eksklusif bagi tamu yang hadir.
Acara tersebut sempat menjadi perbincangan di media sosial. Ulang tahun Ara bahkan sempat diliput sebuah stasiun TV swasta. Saat itu, dia berpakaian layaknya putri duyung.
Nahas, kurang dari sepekan setelah pesta ulang tahunnya, Alexander dijebloskan ke dalam sel tahanan Cipinang selama tiga bulan.
Di dalam tahanan, Alexander menulis surat kepada Perdana Menteri Australia saat itu, Julia Gillard dan Menteri Luar Negeri Bob Carr dari penjara, mengaku tidak bersalah dan mengklaim bahwa polisi Indonesia yang korup membuatnya berada di balik jeruji besi.
"Saya ditempatkan dengan dua atau tiga orang dalam satu ruangan sel. Saya selalu dimintai uang oleh para polisi di sini untuk 'memuluskan' kasus saya. Kedutaan Besar Australia telah melakukan lobi atas nama saya, tapi belum ada respon. Surat dari duta besar Greg Moriarty juga dialihkan," tulis Alexander saat itu, dikutip dari Sydney Morning Herald.
"Saya dan istri (Ara) serta dua anak saya (Joshua dan Noriko) menerima ancaman melalui telepon. Rekening kami dibekukan," tulis Alexander.
Dokumen yang diperoleh Fairfax Media ini memberikan gambaran soal kehidupan mantan mantan diplomat, yang bekerja di Kedutaan Besar Australia di Jakarta periode 1977-1980 ini.
Penahanan Alexander terkait dengan Bengkulu Coal Ltd, perusahaan yang melakukan produksi batu bara di Indonesia. Di perusahaan tersebut, Alexander merupakan mitra pendiri dan pemegang saham utama.
Perusahaan ini jatuh sejak awal 2013 karena kelebihan biaya dan gagal mencapai target produksi dan kuantitas dan kualitas batu bara yang ditargetkan.
Dalam struktur perusahaan dan pinjaman yang kompleks, mencakup Hong Kong, Indonesia, Singapura dan British Virgin Islands, bagian operasional dilakukan oleh perusahaan Hong Kong, Charm Hill. Sementara, untuk bagian pendanaan dan perbankan dilakukan oleh Bengkulu Coal Ltd.
Dokumen yang diperoleh oleh Fairfax Media juga mengungkap adanya aliran uang tunai yang besar dan rutin dari Bengkulu Coal untuk pengeluaran pribadi Alexander. Hal ini ditafsirkan oleh pemberi pinjaman dan polisi Indonesia sebagai bukti skema penggelapan.
Pengeluaran pribadi dan pembayaran kartu kredit Alexander, Ara dan dua anak tertuanya, Nicholas dan Chris, mencapai US$500 ribu per tahun.
Rekening tersebut menunjukkan berbagai pembayaran hotel mewah, harga tiket pesawat, kartu kredit pribadi dan biaya sekolah dua anak bungsunya. Semua pengeluaran tersebut dibayar oleh Bengkulu Coal melalui perusahaan migas lepas pantai milik Alexander, Batavia Investments.
Salah satu pemberi pinjaman proyek batu bara tersebut adalah Gemini Global Pte, perusahaan yang berbasis di Singapura dan dioperasikan oleh pengusaha Jerman Oliver Herrmann. Perusahaan ini meminjamkan uang sebesar US$500 ribu pada 2011 untuk menutupi modal Charm Hill.
Para pejabat Gemini Global Pt melihat uang yang mereka pinjamkan muncul di rekening bank Bengkulu Coal dan untuk pengeluaran pribadi Alexander dan keluarganya.
"Saya terkejut melihat banyaknya pengeluaran pribadi Alexander. Tak heran proyek ini kehabisan dana operasional," kata pengacara untuk Gemini Global yang meminta namanya disamarkan menjadi Lee kepada SMH.
Akhir tahun 2012, berbekal dokumen dan tidak dapat membayar pinjaman, Gemini melaporkan hal tersebut kepada polisi Indonesia.
(stu)