Perang Sipil Sri Lanka Berakhir, Orang Tamil Masih Menderita

Fadli Adzani/Reuters | CNN Indonesia
Kamis, 13 Agu 2015 15:21 WIB
Penyiksaan terhadap kelompok minoritas Tamil oleh polisi dan militer Sri Lanka dilaporkan terus terjadi meski perang sipil telah berakhir.
Penyiksaan terhadap kelompok minoritas Tamil oleh polisi dan militer Sri Lanka dilaporkan terus terjadi meski perang sipil telah berakhir. (Getty Images/Buddhika Weerasinghe)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penyiksaan terhadap kelompok minoritas Tamil di Sri Lanka oleh polisi dan militer terus menjadi masalah besar walaupun perang sipil sudah berakhir enam tahun lalu. Menurut kelompok amal Inggris yang memberikan bantuan kesehatan, kerap terjadi pemukulan, pembakaran serta pelecehan seksual terhadap korban warga Tamil.

Dalam sebuah laporan yang dirilis pada Kamis (13/8), Freedom from Torture, organisasi Inggris yang membantu korban penyiksaan, mengatakan pada 2014 bahwa dalam tiga tahun berturut-turut Sri Lanka menjadi negara asal dari korban yang telah mereka bantu.

Laporan tersebut didasarkan pada bukti medis berkaitan dengan 148 korban penyiksaan di Sri Lanka, 94 persen dari mereka adalah warga Tamil. Laporan ini dipublikasikan menjelang pemilihan umum, yang akan menjadi ajang bagi mantan presiden Sri Lanka pada masa perang, Mahinda Rajapaksa, untuk kembali meraih kekuasaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan ini mengungkapkan bahwa hampir semua korban, yang disiksa dari 2009 hingga 2013, kerap dipukuli menggunakan pipa berisi semen dan genggaman pistol.

Hampir 80 persen korban pernah disundut dengan rokok atau timah panas, serta 71 persen lainnya mengalami kekerasan seksual. Banyak korban merasakan siksaan dengan metode waterboarding (simulasi tenggelam yang kerap digunakan dalam interogasi), dan juga dipaksa menghirup asap pembakaran cabai serta bensin.

"Meskipun perang telah berhenti sejak 2009, penyiksaan tetap berlanjut di Sri Lanka setiap tahunnya, sampai saat ini," kata Sonya Sceats, direktur advokasi dan kebijakan Freedom from Torture kepada Reuters.

"Sebagai sebuah organisasi, kami terus membantu banyak korban asal Sri Lanka dan pada kenyataannya, kami sudah menerima beberapa kasus penyiksaan tahun ini setelah adanya pergantian presiden," tambahnya

Akan tetapi, para pejabat di Komisi Tinggi Sri Lanka di London tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar terkait hal ini.

Disiksa saat kembali

Pada Januari, Presiden Maithripala Sirisena mengalahkan Rajapaksa, mantan presiden yang populer karena berhasil mengalahkan 26 tahun pemberontakan kaum separatis Macan Tamil pada 2009 lalu.

Namun, Rajapaksa seringkali dicerca oleh masyarakat yang menuduhnya melakukan kebrutalan dan pelanggaran selama berkuasa. Rajapaksa berambisi terpilih kembali menjadi perdana menteri pada pemilihan parlemen yang akan dilangsungkan pada 17 Agustus mendatang. Posisi perdana menteri di negara ini diberikan kekuasaan lebih dibawah reformasi konstitusi.

Sceats menyatakan bahwa warga Tamil dianggap terlibat dengan kelompok Macan Tamil, baik di medan perang maupun sebagai penyuplai obat dan makanan saat perang. Sceats menilai warga Tamil akan selalu berisiko besar mendapatkan penyiksaan di Sri Lanka.

Lebih dari sepertiga kasus penyiksaan yang ditangani kelompok ini merupakan kasus penyiksaan warga Sri Lanka yang kembali dari Inggris setelah perang berakhir.

"Selama 30 tahun, kita tidak pernah melihat orang yang disiksa sebanyak ini setelah mereka kembali dari Inggris ke negara tertentu," kata Sceats.

Salah seorang warga Tamil berumur 25 tahun, yang disebut John oleh Freedom from Torture, mengatakan bahwa dia sempat ditahan di bandara yang terletak di Colombo, ibu kota Sri Lanka ketika baru tiba dari Inggris. John mengakui dia diinterogasi selama berjam-jam soal protes anti-pemerintah yang dia hadiri di London.

Setelah itu, John mengaku dipindahkan ke penjara dan disiksa selama 13 hari sebelum keluarganya membayar uang suap untuk mengeluarkannya.

Sebelumnya, John sempat berperang untuk untuk Macan Tamil dan ditangkap pasukan pemerintah. Ia lalu pergi ke Inggris menggunakan visa pelajar setelah perang.

"Mereka memukuli saya setiap hari ketika di penjara. Pergelangan kaki saya diikat dan digantung terbalik dalam keadaan telanjang. Mereka memukul badan saya dengan kawat baja dan pipa plastik berisi pasir," kata John.

"Kepala saya dimasukkan ke dalam air sampai saya tercekik dan tersedak. Mereka juga memasukan bensin ke dalam plastik dan menaruhnya di atas kepala saya sampai pingsan. Mereka juga melakukan kekerasan seksual kepada saya," kata John melanjutkan.

Didirikan 30 tahun lalu, Freedom from Torture melayani 1.000 korban penganiayaan. Dokter dari lembaga ini mengklaim bahwa korban mengalami penyiksaan dari bukti fisik dan psikologis.

Jika bukti terkonfirmasi, laporan mereka akan disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri Inggris yang dapat memberikan suaka kepada para korban. (ama/stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER