Yunani Tak Punya Infrastruktur untuk Tampung Imigran

Amanda Puspita Sari/Reuters | CNN Indonesia
Selasa, 25 Agu 2015 03:09 WIB
Pemerintah Yunani pada Senin (24/8) mengeluhkan bahwa infrastruktur mereka tidak cukup untuk menampung gelombang pengungsi dari Asia dan Afrika.
Ribuan pengungsi dari berbagai negara di Afrika dan Asia yang telah mencapai Yunani dan berhasil mencapai Makedonia diusir oleh polisi Makedonia pada Jumat (21/8) dan terpaksa menginap di tanah tak bertuan di perbatasan Makedonia. (Reuters/Alexandros Avramidis)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Yunani pada Senin (24/8) mengeluhkan bahwa infrastruktur mereka tidak cukup untuk menampung gelombang pengungsi Eropa yang turut mengalir ke Yunani.

Dilaporkan Reuters, masih berjuang untuk keluar dari krisis ekonomi terburuk selama beberapa tahun belakangan, Yunani harus dihadapkan pada masalah gelombang imigran dari berbagai negara Asia dan Afrika menuju Eropa. Sebagian besar imigran berasal dari Suriah yang melarikan diri dari perang saudara.

Sejumlah lembaga bantuan internasional meluncurkan kritik pedas terhadap Yunani yang dinilai tidak dapat menampung banyaknya pengungsi di negara itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Otoritas Yunani, yang bertahan dari kebangkrutan dengan dana talangan, dinilai kewalahan dan tak dapat membantu beban sejumlah negara Eropa lainnya yang tahun ini kedatangan lebih dari 160 ribu pengungsi, tiga kali lipat dari jumlah pengungsi pada 2014.

"Ini adalah negara tujuan (imigran), dan oleh karena itu kami diwajibkan untuk memiliki infrastruktur yang memadai," kata Olga Gerovasili, juru bicara partai sayap kiri Syriza yang berada dalam pemerintahan Yunani.

"Tapi kami dituduh atas berbagai hal yang tak sempat kami lakukan, hal yang tidak dilakukan pemerintah sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir," kata Gerovasili kepada media Yunani, Alpha TV.

Yunani kini tengah bersiap melakukan pemilihan umum setelah partai Syriza berkuasa selama tujuh bulan. Di bawah kekuasaan Syriza, Yunani telah membongkar Amygdaleza, pusat penahanan imigran yang sebelumnya kerap dikritik oleh organisasi pemerhati hak asasi manusia internasional.

Meski demikian, sejumlah pakar menilai masalah yang dialami Yunani merupakan potret bahwa Eropa tidak siap berurusan dengan gelombang imigran yang begitu besar, yang disebut-sebut terburuk sejak Perang Dunia II usai.

"Ini bukan hanya tragedi Yunani, tapi krisis bagi Eropa secara luas," kata Gauri van Gulik, wakil direktur Amnesty International untuk wilayah Eropa dan Asia Tengah.

"Ini menjadi masalah yang nyata di depan mata para pemimpin Eropa yang berpikiran sempit dengan memprioritaskan pengamanan perbatasan ketimbang membantu korban konflik," katanya melanjutkan.

Di pulau Lesbos, Komite Bantuan Internasional menyatakan telah terjadi peningkatan kedatangan imigran yang signifikan selama 10 hari terakhir.

"Lebih dari 2.000 (imigran) tiba setiap hari di pulau ini. Angka ini merupakan peningkatan dua kali lipat dari imigran yang tiba di seluruh Yunani setiap hari selama musim panas," kata Kirk Day, kepala komite untuk wilayah Lesbos.

Day menyatakan kedatangan imigran pada hari-hari tertentu bahkan dapat mencapai 3.000 orang. "Hal ini memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam upaya pemberian bantuan, dan membahayakan kesejahteraan pengungsi serta menambah beban pada masyarakat lokal," kata Day.

Yunani bukan merupakan negara yang paling dekat dengan Suriah, tetapi memiliki lebih banyak rute menuju negara Eropa lainnya.

Sekitar 2.500 pengungsi asal Suriah dipindahkan oleh feri ke ibu kota Yunani pada Senin (24/8) dalam upaya untuk meringankan kepadatan penduduk di pulau-pulau terpencil, termasuk Lesbos.

Pemindahan ini merupakan yang keempat kalinya. Total, terdapat sekitar 10 ribu imigran yang telah dipindahkan di ibu kota Yunani.

Sebagian besar imigran dipindahkan ke wilayah dekat stasiun kereta Athena dan berhasil mencapai Makedonia, melalui Serbia dan dari wilayah itu, para imigran kemudian melakukan perjalanan bebas visa ke negara Uni Eropa lainnya.

"Saya di sini demi masa depan anak-anak saya, karena tidak ada masa depan di Suriah," kata Shireen, 18, pelajar sejarah dari al-Hasakha yang membawa serta putrinya yang baru berusia 10 bulan dalam pengungsian tersebut. (ama/ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER