Jakarta, CNN Indonesia -- Demi meningkatkan keselamatan, Nepal tengah menimbang untuk melarang para penyandang disabilitas dan lansia untuk mendaki Gunung Everest dan sekitarnya.
Kepala Departemen Pariwisata Nepal, Senin (28/9) menyatakan usulan tersebut muncul lima bulan setelah longsor menyusul gempa besar terjadi di Nepal, menewaskan lebih dari 8.500 orang, termasuk 18 orang di pangkalan kamp Everest.
Meski berdalih peningkatan keselamatan pendaki, hal ini nampaknya akan memercik tuduhan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami pikir kami tidak harus memberikan izin bagi mereka yang tidak bisa melihat, berjalan, atau tanpa lengan," kata Kepala Departemen Pariwisata, Govinda Karki, dilansir dari Channel Newsasia,
"Mendaki Everest itu tidak main-main... Ini bukan soal diskriminasi, bagaimana Anda bisa mendaki tanpa kaki? Seseorang harus menggendong Anda naik," katanya.
"Kami ingin membuat pegunungan ini lebih aman untuk semua orang, untuk itu kami harus memperketat dengan beberapa aturan," kata Karki menambahkan.
Karki menyatakan bahwa pemerintah Nepal juga tengah mempertimbangkan untuk memberikan izin mendaki hanya kepada para pendaki yang pernah mencapai puncak gunung lain setinggi 6.500 meter.
Pertimbangan ini untuk memastikan para pendaki Everest sudah memiliki pengalaman mendaki gunung tinggi sebelumnya.
Ratusan pendaki membatalkan rencananya menggapai gunung setinggi 8.848 mdpl itu pasca bencana April lalu, menandai musim semi kedua tanpa ada seorang pendaki pun yang mencapai puncak Everest.
Salju longsor di tahun sebelumnya menewaskan 16 pemandu. Peristiwa ini menarik perdebatan global akan risiko besar Nepal yang memperbaiki tali dan tangga untuk membantu para pendaki dengan tingkat pengalaman bervariasi.
Meski begitu, dalam beberapa tahun terakhir Everest telah mengundang banyak sekali pendaki yang berniat membuktikan bahwa kekurangan fisik bukanlah hambatan untuk mencapai puncak tertinggi di dunia itu.
Mark Inglis dari Selandia Baru, menjadi pendaki pertama dengan amputasi ganda yang berhasil berdiri di puncak Everest tahun 2006. Inglis kehilangan kedua kakinya akibat radang dingin.
Selain Inglis, Erik Weihenmayer dari Amerika Serikat, melakukannya pada Mei 2001 dan tujuh tahun kemudian, menjadikannya satu-satunya pendaki tunanetra yang menggapai gunung-gunung tertinggi di tujuh benua di dunia.
Ahli pendakian gunung, Elizabeth Hawley, menolak gagasan pemerintah Nepal itu. Perempuan yang kini bermukim di Kathmandu ini menyebutnya tidak adil.
"Menurut saya pemerintah tidak berhak menilai kapasitas seseorang dan memukul rata bagi semua pendaki," ujarnya.
"Erik Weihenmayer adalah pengecualian yang jadi contoh bagi para tunanetra bahwa mereka pun bisa melakukannya. Itu hal yang inspiratif," kata Hawley melanjutkan.
Pihak berwenang Nepal juga berniat membatasi akses ke puncak-puncak Himalaya kepada pendaki berusia 18 hingga 75 tahun saja.
Nepal memang belum pernah memberi izin pendakian bagi usia di bawah 16 tahun, tetapi selama ini belum pernah memberi batas maksimum usia pendaki.
Penjelajah asal Jepang, Yuichiro Miura, 82 tahun, hingga kini memegang rekor pendaki tertua yang menggapai puncak Everest, yakni di usia 80 tahun.
Wisata pendakian telah jadi penyumbang devisa terbesar bagi negara miskin ini. Nepal merupakan rumah bagi delapan dari 14 puncak tertinggi dunia di atas ketinggian 8 ribu meter.
Gempa 25 April lalu yang menewaskan hampir 8.900 orang menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan industri pariwisata Nepal.
(ama/ama)