Demokrasi Tak Jamin Separatisme di Thailand Selatan Selesai

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Kamis, 08 Okt 2015 10:59 WIB
Pakar politik dari Bangkok menilai bahwa pemilu yang menjanjikan pemerintahan demokratis belum tentu jadi solusi bagi separatisme di wilayah selatan Thailand.
Enam sekolah dibakar pada Oktober tahun lalu di Pattani, dalam rangkaian kekerasan yang kerap meletup di selatan Thailand. (Reuters/Surapan Boonthanom)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar politik dari Thammasat University, Chaiwat Satha-Anand menyatakan bahwa pemerintahan yang demokratis, yang dijanjikan Perdana Menteri Prayuth Chan Ocha pada pemilu mendatang, belum tentu menjadi solusi atas berbagai masalah di Thailand, termasuk masalah separatisme di Thailand.

Sejak aksi separatisme meletus di tiga provinsi di selatan Thailand yang didominasi oleh warga Muslim pada 2004 lalu, berbagai serangan pemberontakan kerap terjadi hingga saat ini, menewaskan ribuan orang.

Serangan yang teranyar terjadi ketika serangkaian bom meletus bersamaan di wilayah selatan pada 17 September lalu, tepat sebulan setelah tragedi bom Bangkok, menewaskan setidaknya dua orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sejak kekerasan meletus pada 2004, pemerintahan demi pemerintahan bergulir, masalah ini masih terjadi. Mulai dari pemerintahan monarki, konstitusional, demokratis, dan junta militer. Sehingga tidak berarti pemerintahan demokratis akan mampu memecahkan masalah ini," kata Chaiwat ketika ditemui CNN Indonesia, Selasa (6/10).

Meski aksi pemberontakan terus bergolak dari waktu ke waktu, hingga saat ini belum ada solusi konkret yang diupayakan pemerintah Thailand untuk mengatasi hal ini. eski demikian, Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha sempat berjanji pada awal November 2014 lalu bahwa pemerintahannya akan membawa perdamaian di wilayah selatan dalam waktu satu tahun.

Chaiwat menilai aksi separatisme di selatan kerap terjadi hingga saat ini karena Bangkok tak mampu menciptakan hubungan yang baik dengan kaum separatis hingga saat ini. "Kami harus menemukan solusi baru untuk menangani masalah ini. Karena hubungan yang tercipta antara Bangkok dengan selatan hingga saat ini masih terus menimbulkan masalah," kata Chaiwat.

Meski aksi pemberontakan terus bergolak dari waktu ke waktu, hingga saat ini belum ada solusi konkret yang diupayakan pemerintah Thailand untuk mengatasi hal ini. eski demikian, Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha sempat berjanji pada awal November 2014 lalu bahwa pemerintahannya akan membawa perdamaian di wilayah selatan dalam waktu satu tahun.

Dimulai dari masa penjajahan

Chaiwat menjelaskan bahwa konflik di provinsi Pattani, Narathiwat dan Yala terjadi jauh sebelum 2004, atau tepatnya sejak zaman penjajahan, lebih dari 100 tahun yang lalu. Tiga wilayah tersebut sebelumnya menjadi bagian dari Malaysia, namun kemudian termasuk dalam kekuasan Thailand melalui perjanjian Anglo-Siamese Treaty pada 1909 yang ditandatangani Raja Thailand dan pemerintah Inggris, tanpa berdiskusi dengan penduduk lokal.

Menurut Chiwat, hal tersebut mendasari pemberontakan separatisme Muslim keturunan Melayu di wilayah selatan.

"Mengapa hanya Muslim di wilayah selatan yang memberontak, sementara Muslim di berbagai wilayah Thailand lain tidak? Jawabannya sederhana, karena Muslim di wilayah lain merupakan keturunan dari nenek moyang mereka yang datang dengan suka rela ke Thailand, tanpa paksaan," ujar Chiawat.

"Sementara untuk kasus Muslim di Selatan, bukan mereka yang ingin bergabung ke Thailand, tetapi Thailand yang ingin mereka bergabung saat masa penjajajahan. Dan ketika itulah, masalah dimulai," tutur Chaiwat.

Chaiwat menyebutkan konflik di Thailand selatan seperti konflik antara Indonesia dengan Timor Leste. Chaiwat menyatakan dorongan dari publik internasional dan perubahan rezim di Indonesia kala itu membantu penyelesaian konflik ini, yang berujung pada berpisahnya Timor Leste menjadi negara sendiri di luar kedaulatan Indonesia.

"Thailand tidak memiliki perubahan rezim yang dapat berujung kepada penyelesaian konflik semacam itu, meskipun berbagai (tipe) pemerintahan telah bergulir," kata Chaiwat.

Lebih baik dari kudeta

Meski demikian, Chaiwat yakin pemerintahan demokratis, yang dipilih berdasarkan pemilu, merupakan proses politik yang lebih baik, ketimbang peralihan kekuasaan melalui kudeta yang kerap terjadi di Thailand.

"Kudeta membuat warga Thailand tak lagi optimistis terhadap proses politik yang normal. Ini berbahaya, karena proses politik yang normal adalah melalui pemilu yang demokratis," tutur Chaiwat.

Pemerintahan Prayuth menjanjikan pemilihan umum yang akan digelar setidaknya pada 2017 mendatang. Prayuth juga menjanjikan rekonsiliasi dan perubahan konstitusi sebelum pemilu digelar. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER