Jakarta, CNN Indonesia -- Perang saudara di Suriah saat ini bukan tidak mungkin akan berkembang besar seperti perang Uni Soviet dan Afghanistan, yang berlangsung selama sembilan tahun dari tahun 1979 hingga 1989.
Pada masa itu, pemerintahan Afghanistan yang baru terbentuk setelah Revolusi Saur tahun 1978 memiliki banyak agenda sosialis serta dekat dan memiliki perjanjian persahabatan dengan Uni Soviet.
Afghanistan meminta Soviet membantu perlawanan terhadap sejumlah kelompok pemberontak yang menamakan diri sebagai Mujahidin, yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Soviet kemudian melakukan intervensi di Afghanistan melalui ribuan tentaranya, dan bahkan menduduki Afghanistan dari Desember 1979 hingga 1980.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara sejumlah negara lain, termasuk Amerika Serikat, menilai pendudukan Soviet merupakan perpanjangan dari Perang Dingin. Demi mengusir Soviet dari Afghanistan, AS meluncurkan berbagai dukungan kepada pasukan anti-Soviet.
Ditanya apakah perang sipil Suriah serupa dengan Perang Soviet-Afghanistan, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan bukan tidak mungkin perang sipil Suriah akan berlangsung serupa seperti Perang Soviet-Afghanistan.
"Ya sekarang bisa saja terjadi. Masalah utamanya ISIS dan Assad. Rusia dan Amerika memiliki
common interest yang sama, yaitu memberantas ISIS, tetapi memiliki pandangan berbeda soal Assad," kata Hikmahanto ketika dihubungi CNN Indonesia, Jumat (9/10).
Menanggapi ketegangan antara Rusia dan AS semenjak Rusia meluncurkan serangan udara dan laut untuk menghantam kelompok pemberontak di Suriah, Hikmahanto memaparkan bahwa ketegangan itu bersumber dari tidak adanya kordinasi strategi yang baik antara AS dan Rusia.
"Strategi yang dipermasalahkan. Serangan udara Rusia dianggap sebagai salah satu kesalahan. Apalagi setelah pesawat Rusia melanggar kedaulatan Turki," kata Hikmahanto.
Selain itu, AS mengecam bom yang dijatuhkan Rusia menargetkan wilayah kelompok pemberontak yang dianggap moderat dan didukung oleh AS, Free Syrian Army. Rudal jelajah Rusia juga dilaporkan meleset dan jatuh di Iran pada Kamis (8/10).
Hingga saat ini, belum ada konfirmasi dari Gedung Putih soal hal ini. Rusia dan Iran, yang merupakan sekutu kuat Assad menolak tuduhan tersebut.
Dengan berperannya Rusia dan AS serta masing-masing sekutu mereka di konflik Suriah, menurut Hikmahanto hal ini semakin membuktikan pergolakan di negara-negara Timur Tengah.
"Sudah semakin nyata pergolakan di Timur Tengah, dan bahwa negara-negara Timur Tengah tidak akan bisa bersatu karena terlalu banyak
conflict of interest di masing-masing negara," kata Hikmahanto.
Dikutip dari The Atlantic, Perang Uni Soviet-Afghanistan diperkirakan memakan korban hingga lebih dari 1 juta orang tewas selama sembilan tahun perang berkobar, tediri dari 90 ribu pemberontak Mujahidin, 18 ribu tentara Afghanistan dan 14.500 tentara Uni Soviet.
Tentara Uni Soviet mulai menarik pasukannya dari Afghanistan pada 1988, di bawah pemerintahan Mikhail Gorbachev, yang meluncurkan reformasi di Soviet.
(stu)