Singapura: Masalah Asap Tak Bisa Selesai di Negara Kami

Melodya Apriliana | CNN Indonesia
Sabtu, 10 Okt 2015 15:08 WIB
Duta Besar Singapura untuk PBB, Tommy Koh, memaparkan alasan mengapa Singapura belum bertindak tegas soal bencana kabut asap.
Hingga saat ini, Singapura belum bertindak tegas soal bencana kabut asap. (Reuters/Edgar Su)
Jakarta, CNN Indonesia -- Duta Besar Singapura untuk PBB, Tommy Koh, pada Kamis (8/10), memaparkan bahwa alasan Singapura belum mengambil tindakan tegas soal bencana asap adalah karena Singapura menilai masalah ini terletak pada "biaya politik" yang ada, berbeda dengan perkara dagang yang bisa dirujuk ke pengadilan internasional.

"Hukum internasional itu sangat jelas. Aktivitas yang terjadi di dalam wilayah hukum Anda, (ketika) menimbulkan bahaya dan kerusakan di negara lain, Anda lah yang bertanggung jawab," kata Koh dalam kuliah umumnya di Law Society, Singapura, dilansir dari Channel Newsasia, Jumat (9/10).

Meski demikian, Koh tidak menjelaskan "biaya politik" yang dimaksud. Dalam kesempatan itu, Koh juga mengaku kecewa oleh "pernyataan tidak masuk akal" yang dilontarkan beberapa politikus Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harus jelas kepada semua orang, termasuk saudara-saudari kita di Indonesia, bahwa mereka bertanggung jawab secara moral dan hukum atas bencana kabut asap ini," kata Koh.

Koh, yang juga berprofesi profesor dan pengacara ineternasional, menilai meski setiap negara punya "hak bebas untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, hak itu bukannya tidak terbatas".

Koh berpendapat Indonesia bisa berperan untuk meningkatkan keberlanjutan lingkungan, misalnya dengan mewajibkan seluruh lembaga keuangan untuk bergabung dengan Forum Minyak Sawit Berkelanjutan, dan bekerja bersama asosiasi internasional demi peningkatan standar pemadaman kebakaran di dalam negeri.

Ia juga memuji usaha yang dilakukan kelompok-kelompok nonpemerintah seperti Dewan Lingkungan Singapura dan Tim Aksi Basmi Asap yang mencoba mengatasi masalah ini.

Namun, Koh menekankan, penyelesaiannya tetap ada di tangan Indonesia. "Intinya, masalahnya bukan berasal dari wilayah kami. Kami tidak dapat mengatasinya dari sini," ujar pemimpin Dewan Pengurus Pusat Hukum Internasional di Universitas Nasional Singapura itu.

Teman versus prinsip

Saat memberi kuliah di Law Society, Profesor Koh juga banyak bercerita soal "pergumulan konstan" dalam diplomasi negara antara pertemanan dan prinsip, yang nampaknya merupakan alasan sikap ketidaktegasan Singapura terhadap bencana kabut asap dari Indonesia yang semakin hari semakin pekat.

Pergumulan itu terjadi di antaranya ketika Singapura dan negara-negara ASEAN mengutuk invasi Vietnam ke Kamboja tahun 1970-an. Saat itu, banyak negara lain yang memuji Vietnam sebagai "penyelamat" karena menggulingkan rezim Khmer Merah di Kamboja.

"Coba pikirkan. Haruskah kita menyetujui tindakan tetangga kita yang menggunakan kekuatan militernya untuk menginvasi dan menduduki tetangga kita yang lain, dan memaksakan rezimnya di negara itu? Hati saya terkoyak," tutur Koh.

Koh mengungkapkan bahwa dia telah meyakinkan PBB untuk mendukung posisi ASEAN, sementara dirinya "dimarahi" oleh negara-negara Barat karena dianggap "kejam".

Contoh lainnya, ketika sebagai perwakilan Singapura, dirinya memperdebatkan invasi Amerika Serikat ke Grenada, Spanyol, tahun 1980-an di Dewan Keamanan PBB, Amerika menganggapnya menyebalkan.

"Apakah pertemanan yang utama bagi Anda? Atau prinsip? Inilah pergumulan konstan dalam diplomasi, dan hingga hari ini saya tidak yakin apakah saya membuat keputusan yang tepat. Mungkin pelatihan hukum yang saya dapat telah merusak saya,"

Koh juga menjelaskan mengapa Singapura butuh waktu lama sebelum menyetujui Konvensi Internasional Hak Asasi Manusia. Singapura relatif berhati-hati sebelum menjalankan kewajiban internasional.

Menurut Koh, Singapura harus memastikan dulu apakah kewajiban itu mampu mereka laksanakan. "Banyak negara bersikap sombong dan menanda tangani semuanya. Tetapi itu tidak berarti mereka menjalankan segala kewajiban itu."

Singapura juga bersikap "kolegial", dengan berdiskusi bersama badan-badan yang ada di negaranya terlebih dahulu sebelum meratifikasi suatu konvensi internasional.

Namun, Koh mengakui pendekatan ini terasa melelahkan, sebab berbagai lembaga yang ada seringkali tak punya kasus menarik untuk dibicarakan.

"Tetapi begitulah budaya kolegial kami, bahwa kami tidak melangkah atas dasar mayoritas. Menurut saya itulah masalahnya. Mungkin Perdana Menteri dapat meninjau hal ini," ucap Koh. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER