Jakarta, CNN Indonesia -- Parlemen Libya yang diakui secara internasional menolak usulan pembentukan pemerintah bersatu yang diusulkan oleh PBB pada Senin (19/10), menambah larut situasi politik di negara itu, empat tahun setelah mantan diktator Muammar Gaddafi meninggal.
Namun parlemennya mengatakan mereka akan terus ikut ambil bagian dalam proses pembicaraan damai yang disponsori PBB dengan pemerintah rival yang berbasis di ibu kota Tripoli.
Selain banyak faksi militan dan kelompok bersenjata, Libya terbagi antara dua kelompok yang mengklaim sebagai pemerintah sah. Pemerintah yang diakui dunia internasional saat ini memerintah dari timur Libya setelah terusir dari Tripoli oleh kelompok yang menamakan diri mereka Libya Dawn.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PBB mendorong kedua belah pihak untuk membentuk pemerintahan bersatu, demi memerangi kekuatan militan dan penyelundup imigran ilegal yang mengambil keuntungan dari kekacauan Libya.
Usulan PBB muncul setelah negosiasi berlarut-larut antara delegasi dari kedua belah pihak, yang menghadapi banyak tekanan akibat pertempuran di lapangan menyebabkan sebagian produksi minyak Libya terhenti.
"Mayoritas anggota HoR (parlemen) menolak pemerintah bersatu yang diusulkan PBB dalam pertemuan hari ini dan menyerukan dialog perdamaian dilanjutkan," kata anggota parlemen Saleh Ghalma.
Sementara itu, parlemen Tripoli berbasis belum memutuskan usulan PBB.
Dalam usulan PBB, seorang anggota parlemen dari timur, Fayez Seraj, akan menjadi perdana menteri, dengan tiga perdana menteri dari barat dan timur—mewakili pemerintah Tripoli dan Benghazi—serta dari selatan.
Satu tokoh senior masing-masing dari sisi barat dan timur akan duduk di enam kursi dewan presiden.
"Kami menuntut untuk memiliki satu perdana menteri dengan hanya dua deputi," kata Ghalma.
(stu)