-- Mereka berasal dari lebih dari 20 negara, membanjiri Libya yang merupakan rute menuju Eropa.
Warga Eritrea melarikan diri dari tekanan atau wajib militer; warga Somalia takut akan al Shabaab dan pertempuran antara suku; warga Suriah tidak bisa pulang ke rumah mereka lagi.
Di desa-desa Senegal dan negara Afrika Barat laim, para pemuda menjual harta benda untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di Eropa. Mungkin juga mereka berharap bisa berkumpul kembali dengan saudara sepupu atau kakak dan adik yang berhasil mencapai Eropa.
Para pakar dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, motivasi puluhan ribu warga yang bergerak menuju pantai Medeiterania sebanyak jumlah negara asal mereka.
Tetapi pada 2014 lebih dari 80 persen para pendatang ini mempergunakan pantai Libya yang dianggap sebagai tempat pemberangkatan ke Eropa yang paling mudah.
Dari Tanduk Afrika ke Atlantik, dari Suriah dan Gaza, calon migran ini menyusuri rute penyelundupan yang sudah tertata baik. Mereka harus melalui padang pasir dan pegunungan, belum lagi ada risiko besar menjadi korban penculikan atau perampikan. Mereka pun seringkali ditipu atau diterlantarkan.
Seorang migran asal Afrika dilaporkan bisa bertahan hidup dengan mengkonsumsi pasta gigi selama beberapa hari.
Seorang pemuda Somalia yang berhasil mencapai Malta mengatakan kepada para peneliti bahwa dia sudah meminta anggota keluarga lainnya untuk tidak datang.
“Saya mengatakan bahwa 95 persen mereka akan meninggal,” katanya.
Organisasi Migrasi Internasional, IOM, selama bertahun-tahun mencatat aliran migran melalui Afrika Utara. Warga Eritrea sejak lama dikenal di kalangan para migran ini, mereka melarikan diri dari pemerintah diktator, kemiskinan dan wajib militer tanpa batas. Negara tanpa harapan.
“Banyak tentara wajib militer tidak dibebastugaskan sesuai jadwal, dan sebagian dari mereka dipaksa bertugas tanpa batas waktu dengan ancaman ditahan, disiksa atau keluarganya dihukum,” tulis laporan Sekretarian Migrasi Regional, RMMS, tahun lalu.
Migran Sudan secara estafet diserahkan ke kelompok penyelundup baru, setelah berhasil menghindari penculikan dari suku-suku di perbatasan.
Bulan lalu, seorang perempuan Eritrea mengatakan kepada badan Pengungsi PBB, UNHCR, bahwa dia membayar US$5000, atau sekitar Rp70 juta untuk mencapai Mediterania.
Arezo Malakooti, direktur peneltian migrasi perusahaan Konsultan Altai dan salah satu penulis studi pola migrasi paling rinci, mengatakan bahwa setengah dari migran yang tiba di Eropa tahun lalu adalah warga Eritrea dan Suriah.
Malakooti baru-baru ini mengunjungi tujuh negara seperti Libya, Tunisia dan Maroko untuk memperbaharui studinya.
Dia mengatakan “faktor pendorong” lebih besar dari pada “faktor penarik” di Eropa.
Kekacauan dan ketidakstabilan di sebagian besar negara Afrika dan Timur Tengah - ditambah dengan persepsi bahwa pintu Libya selalu terbuka - menyebabkan jumlah migran yang mencoba mencapai Libya meningkat tajam.
“Penindasan yang semakin besar di Eritrea" hanyalah satu faktor, ujar Malakooti - sementara warga negara itu yang sudah berada di kamp-kamp pengungsi di Sudan juga memutuskan untuk pergi ke Mediterania.
Salah satu alasan adalah rute-rute lain, melalui Arab Saudi dan Israel, kini semakin sulit.
Israel menerapkan pendekatan yang lebih keras terhadap calon migran dari Eritrea yang mencoba masuk ke negaranya melalui gurun Sinai, seperti ancaman penjara. Sementara kekacauan di Yaman memutus jalur itu.
Seperti yang dikatakan oleh seorang warga Eritrea kepada jurnal kemanusiaan IRIN tahun lalu: “Orang berangkat ke Israel karena itu adalah satu-satunya jalan, dan kini mereka pergi ke Eropa karena ini juga satu-satunya jalan.”
Warga Somalia, yang sering dipandang sebagai negara terbesar ketiga asal migran yang menuju Mediterania, menghadapi krisis luar biasa di negaranya.
“Kemiskinan; kondisi keamanan yang buruk terus menerus; kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia serius; kekurangan kebutuhan primer seperti makanan, layanan kesehatan, kesejahteraan dan pekerjaan,” menurut RMMS adalah faktor-faktor pendorong. IOM mengatakan kepada CNN bahwa terjadi peningkatan calon migran dari Senegal, Mali, Guinea dan Gambia di Afrika Selatan.
Banyak dari mereka memandang bahwa kekacauan di Libya adalah kesempatan: pos-pos perbatasan kini tidak dijaga, pantai pun kosong.
Sebagian besar warga Afrika Barat meninggalkan negara mereka karena alasan ekonomi, dan kebanyakan adalah pria lajang berusia 20-an tahun.
Jumlah penduduk di wilayah itu meningkat tetapi pertanian dan keamanan ekonomi lain menyusut.
Para peneliti mengatakgn seringkali anak tertua berkelana untuk mencari pekerjaan agar bisa mengirim uang, yang mungkin terpengaruh oleh dongeng-dongeng tentang kemakmuran.
Dalam satu laporan baru-baru ini, Makoti mencatat bahwa “ekspektasi yang tidak realisis dari kegiatan migrasi mereka dipicu oleh para pekerja migran di daerah tujuan yang jarang sekali mengirim berita buruk ke negara asal karena ada tekanan mereka harus sukses.”
Tetapi warga Afrika Barat yang menjual ternak dan harta benda lain tetapi tertangkap atau terlantar bisa menghadapi kemiskinan jika pulang.
Sebanyak 400 warga Senegal baru-baru ini dipulangkan dari Libya oleh Palang Merah dan IOM.
Warga Mali mendapat faktor pendorong baru dari konflik yang baru-baru ini terjadi, ketika kelompok-kelompok jihadis merebut hampir setengah wilayah negara itu sebelum intervensi pimpinan Perancis berhasil memukul mundur kelompok itu.
Joel Millman dari IOM mengatakan terdapat peningkatan jumlah migran di kalangan umat Kristen asal Nigeria di rute pelarian ini. Mereka melarikan diri dari kekacauan dan brutalitas Boko Haram di kota dan desa mereka.
Malakooti mengatakan fenomena lain yang muncul adalah perdagangan perempuan Afrika sebagai pekerja seks komersial di Italia melalui jalur Libya.
Dia menjelaskan bahwa meski masih kecil dibandingkan jumlah migrasi secara keseluruhan, jumlah perempuan yang diselundupkan untuk perdagangan seksual di Eropa meningkat tiga kali lipat. Inisiatif Global Melawan Kejahatan Terorganisir Antar-Negara, kelompok yang berbasis di Jenewa, memperkirakan pada tahun lalu setengah dari migran asal Afrika Barat melalui kota Agadez, Niger utara.
Satu operasi terhadap iring-iringan mobil yang meninggalkan Agadez pada 2013 untuk sementara berhasil mengurangi arus kegiatan itu, tetapi kelompok dari suku Toubou, yang mengendalikan perdagangan lintas perbatasan, membuat rute baru dan menaikkan harganya.
Para peneliti mengatakan seorang migran bisa membayar hingga US$300 untuk mencapai Libya utara dengan truk atau kendaraan pick-up.
Angka pasti terkait jumlah orang yang melintasi Agadez sulit dicapai, tetapi para pakar sepakat angkanya antara 2.000 dan 7.000 per bulan.
Pusat pengiriman lainnya adalah Khartoum, satu stasiun keberangkatan bagi migram dari Afrika Timur, dan Tamanrasset di Aljazair selatan.
Aljazair juga menjadi wilayah tujuan pengungsi Suriah, tetapi persyaratan mendapatkan visa yang baru diberlakukan membuat mereka mencari rute lain yaitu melalui Turki dan pulau-pulau Yunani.
Ratusan ribu migran lain sudah berada berada di Libya selama bertahun-tahun untuk bekerja sebagai buruh harian ketika Moammar Gadhafi berkuasa.
Kini mereka menjadi korban kekerasan, diskriminasi dan penghukuman karena alasan agama. Mereka juga tidak bisa mengirim tabungan hasil bekerja ke keluarganya.
Akibat situasi ini, sebagian pun berangkat ke Eropa meski awalnya tidak ada niat pindah ke benua ini.
Malakooti memandang ini adalah satu faktor utama dalam peningkatan jumlah migran yang mencoba mencapai Eropa.
Pembunuhan umat Kristen asal Mesir dan Ethiopia oleh kelompok jihadis Libya yang berafiliasi dengan ISIS juga memicu mereka pergi.
Dinamika serupa juga terjadi di kalangan pengungsi Suriah.
“Pada awalnya mereka tinggal di Lebanon, Yordania dan negara-negara tetangga lain untuk menunggu hingga konflik selesai,” kata Malakoti.
Kini mereka tidak mau lagi menunggu, atau sumber-sumber yang bisa mengakomodasi mereka hilang, sehingga memutuskan untuk mencoba ke Eropa agar bisa memulai kembali hidup mereka.
Kelompok hak asasi manusia menyebutkan, di Libya para penyelundup tampaknya hanya merupakan kelompok-kelompok kecil atau indiviu bukan satu jaringan yang luas.
Mereka berkumpul di kota-kota seperti Sabha dan Qatrun dan mempergunakan tempat yang disebut sebagai “rumah-rumah transit.”
[Gambas:Video CNN] Penyelundup yang membawa migran ke Tripoli tampaknya tidak berhubungan dengan kelompok-kelompok yang berkuasa di pesisir.
Perjalanan melintasi padang pasir untuk menghindari pos pemeriksaan memerlukan biaya hingga US$200: di negara yang keadaannya tidak menentu, uang sebesar itu dengan cepat menimbulkan persaingan antar kelompok.
Suku-suku yang saling bertikai, milisi yang berkeliaran dan kelompok-kelompok penjahat membuat para migran memerlukan kepiawaian penyelundup.
Kedatangan ISIS di Libya semakin memperumit perjalanan para mgiran; pada Januari kaum jihadis membunuh 14 tentara Libya di dekat Sabha.
Malakooti melihat satu perubahan pola sejak konflik di Suriah terjadi.
Aliran dana ke bisnis penyelundupan manusia semakin besar, sehingga kelompok itu semakin terorganisir.
Kelompok-kelompok yang lebih terandalkan meminta biaya lebih tinggi; Malakooti mengatakan sejumlah migran membeli “paket” dari penyelundup yang meliputi perjalanan darat dan laut.
Migran Suriah relatif lebih makmur daripada migran Afrika Barat, dan kemungkinan siap membayar lebih tinggi untuk mendapatkan tempat di bagian atas perahu.
Warga Afrika seringkali terkunci di bagian bawah dan menghadapi risiko lebih besar jika kapal itu tenggalam. Sebagian dari mereka pun ada yang hanya mampu mempergunakan perahu karet.
Khawatir tertangkap, para penyelundup jarang ikut di dalam kapal. Mereka hanya memberi kompas atau alat GPS kepada para migran yang kemudian berlayar tanpa keahlian navigasi. Kebanyakan dari mereka tidak memilik pengalaman berada di laut dengan kapal yang tidak laik layar.
Ketika Libya semakin berbahaya bagi para migran, negara-negara lain di kedua sisi Lautan Mediterania memperhatikan situasi yang berkembang.
Sebagian warga Afrika Barat memilih bergerak melalui Maroko, meski kemungkinan tertangkap lebih besar dan laut menuju Spanyol lebih sulit untuk disebrangi.
“Seorang migran kemungkinan harus mencoba 50 sampai 60 kali sebelum bisa mendarat di pesisir Spanyol,” kata Malakooti.
Tunisa telah memperketat penjagaan perbatasan dengan Libya; Aljazair dan Maroko pun mulai membangun pagar di sepanjang perbatasan mereka untuk menangkal terorisme dan juga migrasi gelap.
Tetapi langkah-langkah itu kemungkinan tidak akan berpengaruh besar.
Penulis Eritrea Abu Bakr Khaal melakukan perjalanan sulit dan menyebrangi Mediterania. Dalam novelnya
African Titanics, dia menggambarkan “bahaya dari daya tarik” melarikan diri. Dan para migran pun terlambat menyadari kenyataan pahit yang dihadapi di atas laut.
“'Jika Tuhan mencintai saya Dia tidak akan membawa saya ke sini',” keluh seorang penumpang. Setelah yakin telah menggumamkan ucapan selamat tinggal kepada kehidupan, dia terjun ke laut. Kapalpun bergerak maju di tengah gelombang yang bergejolak.”
Sumber:
https://edition.cnn.com/2015/04/21/europe/mediterranean-boat-migrants-lister/index.html