Nairobi, CNN Indonesia -- Kanibalisme, mutilasi dan pengerahan tentara anak di bawah umur merupakan beberapa bentuk dari banyak pelanggaran hak asasi yang telah terjadi selama konflik di Sudan Selatan, menurut laporan Perserikatan Afrika (AU) pada Rabu (28/10).
Konflik terjadi di negara termuda di dunia ini sejak Desember 2013, hanya berjarak tiga tahun setelah merdeka dari Sudan.
Dua kelompok yang berkonflik ialah pendukung Presiden Salva Klir dan pendukung mantan wakilnya, Riek Machar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konflik yang terjadi di negara penghasil minyak yang miskin itu telah menewaskan lebih dari 10.000 penduduk serta memaksa lebih dari 2 juta penduduknya mengungsi.
Selain pertumpahan darah, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengatakan pada awal bulan ini kalau krisis kelaparan juga melanda Sudan Selatan.
Sebanyak 30.000 penduduk terancam kelaparan hingga akhir tahun ini.
Di bawah kecaman dunia dan sanksi, Kiir dan Machar sepakat untuk mengadakan perjanjian damai pada Agustus, tapi kedua kubu itu saling mengingkarinya.
AU sudah meneliti parahnya kondisi konflik di Sudan Selatan sejak akhir 2014. Dari laporan tersebut diketahui kalau kekerasan atas konflik yang terparah terjadi di kota Juba.
Di sana penduduknya kerap melakukan aksi pembakaran tubuh, perkosaan, penyiksaan fisik, mutilasi dan kanibalisme.
AU juga melaporkan kalau pertumpahan darah seringkali terjadi di tiga kawasan penting, yaotu Upper Nile, Unity dan Jonglei.
Ditanya mengenai hal tersebut, juru bicara Presiden Sudan Selatan, Ateny Wek Ateny, mengatakan kalau pemerintah mengetahui adanya aksi main hakim sendiri yang sering dilakukan oleh penduduknya.
Ateny mengatakan kalau para pejabat pemerintahan Sudan Selatan akan bertemu pada Jumat (30/10) untuk mencari jalan keluar atas isu tersebut.
Namun kelompok pemberontak belum memberikan pernyataannya.
Amerika Serikat dan beberapa negara besar lainnya sudah lama memerhatikan kasus kekerasan yang terjadi di Sudan Selatan.
Negara-negara ini tidak segan untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku kekerasan di Sudan Selatan.
(ard/ard)