Jakarta, CNN Indonesia -- Usai melarikan diri dari perang sipil Suriah, sebuah keluarga Kurdi akhirnya mendarat di bandara Moskow.
Hassan Abdo Ahmed Mohammed, istri, dan empat anaknya hendak menetap di Rusia, namun pemerintah mengatakan visa mereka palsu. Pulang kembali ke Suriah bukanlah pilihan karena perang yang berkecamuk.
Karena itu, mereka mendirikan kamp di dalam Bandara Sheremetyevo, Moskow, dan menunggu sembari pengacara mereka mengurai keruwetan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inilah rumah mereka selama 50 hari terakhir: pojokan di salah satu terminal bandara dengan pemandangan aspal. Tumpukan koper yang berantakan. Mereka tidak punya tempat memasak, sehingga UNICEF memberi mereka makanan. Dan mandi pun di toilet bandara.
Tanpa pintu untuk mencegah orang berlalu-lalang, mereka membentangkan tali untuk menandai teritori mereka. Sebuah tanda berupa lembaran kertas yang ditulis tangan juga tertempel di sana, "Mohon jangan sentuh barang-barang kami karena kami tinggal di sini."
Meski begitu, ada peningkatan situasi baru-baru ini. Mohammed memberi keterangan kepada CNN bahwa PBB dan organisasi nonpemerintah telah meyakinkan otoritas Rusia agar mengizinkan keluarganya bermalam di sebuah hotel di dalam terminal bandara.
Beralaskan ubin"Setelah 44 hari tidur di lantai bandara, dalam kedinginan, mereka memutuskan menempatkan kami di hotel," Mohammed mengisahkan, seperti dikutip dari
CNN, Kamis (29/10). "Kondisi ruangannya tidak baik, dan mereka menaruh kami di area merokok."
Tetapi mereka tetap mesti menghabiskan hari demi hari di atas kerasnya ubin terminal, bersama setiap pengumuman yang memecah telinga dan tatapan aneh pelancong yang lewat.
Itu bukanlah tempat yang layak bagi anak-anak mereka: tiga lelaki berusia 8 hingga 13 tahun, dan seorang bocah perempuan 3 tahun.
"Kami belum melihat matahari selama 49 hari," ujarnya.
Saking buruknya, istri Mohammed sampai sakit dan harus menjalani perawatan medis selama dua minggu di rumah sakit.
"Kami tidak diizinkan untuk menengoknya, bahkan anak-anaknya. Dia sudah pulang sekarang, tetapi masih merasa kurang enak badan."
Kerabat di RusiaSituasi yang dialami keluarga tersebut tidak selucu kebingungan dalam film arahan Steven Spielberg tahun 2004, "The Terminal", tentang seorang pria dari Eropa Timur yang terjebak di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Dikisahkan, visa pria dalam film itu tak berlaku akibat revolusi di negara asalnya.
Namun keadaan serupa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata dialami oleh pembocor Badan Keamanan Nasional AS yang melarikan diri dari negara tersebut, Edward Snowden. Dirinya sempat hidup selama satu bulan di Bandara Moskow sebelum akhirnya diberi suaka.
Sedang perang sipil yang berusaha dihindari oleh keluarga Mohammed telah menewaskan 300 ribu orang dan mengusir 10 juta penduduk dari rumah mereka.
Kala ribuan pengungsi dari Suriah, Irak, dan negara Timur Tengah lain bertolak ke Jerman dan sekitarnya, Mohammed dan keluarga memilih ke Rusia, sebab saudara perempuan dan sepupu istrinya tinggal di sana.
Pasca meninggalkan Suriah, mereka tiba di Ibril, sebuah kota Kurdi di Irak utara. Di sana mereka mengajukan visa ke Rusia, sebelum terbang ke Istanbul lalu Moskow, dan perjalanan mereka terhenti.
"Saat kami sampai di bandara Moskow, kami diminta menunggu untuk pengecekan keamanan," kata Mohammed. "Setelah beberapa hari baru kami diberi tahu bahwa visa kami palsu."
Sebelumnya Rusia hendak mengembalikan mereka ke Suriah. Namun "Jika saya pulang, rezim akan membunuh saya dan keluarga saya," ujar pria tersebut.
Ia menambahkan, dirinya meminta izin untuk kembali ke Istanbul atau Ibril, tetapi Rusia menolaknya.
Terjebak birokrasiMenurut Mohammed, hubungan dekat Rusia dengan pemerintah Suriah menjadi penghambat rencananya memasuki Rusia.
"Rusia punya hubungan yang sangat kuat dengan rezim Suriah, dan mereka tidak mau mendorong orang Suriah untuk meninggalkan negaranya," Mohammed berpendapat.
Pengacara Mohammed mengatakan pemerintah Suriah sudah mengecek paspor mereka dan berkata itu asli. Otoritas Rusia kini tengah menyelidiki sejumlah paspor itu, dan menurut sang pengacara, mestinya ada keputusan dalam waktu dekat.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova mengatakan negaranya telah memberi masuk 1 juta pengungsi dari Ukraina dan menerima 8.000 orang Suriah pada September lalu. Zakharova menambahkan setiap orang yang hendak masuk Rusia harus punya dokumen resmi.
Keluarga itu membuat kampanye media kecil-kecilan untuk mengangkat kasus mereka.
"Halo, nama saya Raynass Mohammed," tutur si putra sulung dalam sebuah video. "Kami dari Suriah. Kami sekarang tinggal di sebuah bandara, dan inilah hidup kami. Kami ingin kalian membantu kami, tolong. Bandara ini sangat dingin untuk tidur dan duduk."
Namun Mohammed hanya bisa mengeluh—dan tetap menunggu.
"Pejabat bandara memperlakukan saya seperti teroris," katanya. "Memangnya saya terlihat seperti seorang teroris? Beginikah cara mereka memperlakukan ayah beristri dan empat anak, yang putus asa untuk bisa menjalani hidup normal?"
(stu)