Kemampuan Intelijen Perancis Dipertanyakan Usai Teror

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Minggu, 15 Nov 2015 15:45 WIB
Intelijen Perancis menghadapi berbagai kritikan terkait apakah mereka seharusnya bisa mencegah serangan mematikan di Paris pada Jumat (13/11) lalu.
Intelijen Perancis menghadapi berbagai kritikan terkait apakah mereka seharusnya bisa mencegah serangan mematikan di Paris pada Jumat (13/11) lalu. (Reuters/Benoit Tessier)
Jakarta, CNN Indonesia -- Intelijen Perancis menghadapi berbagai kritikan dan pengawasan intens terkait apakah mereka seharusnya bisa mencegah serangan mematikan di Paris yang terjadi pada Jumat (13/11), menewaskan setidaknya 153 orang dan melukai ratusan lainnya.

Dikutip dari The Guardian, mantan pejabat kontraterorisme di layanan eksternal Perancis, DGSE, Yves Trotignon membela pihak intelijen Perancis dengan berpendapat bahwa skala dan kompleksitas serangan para ekstremis kali ini cukup membuat bidang pertahanan negara kewalahan.

Trotignon mengungkapkan bahwa dinas keamanan Perancis telah lama mengkhawatirkan serangan teror semacam ini terjadi. Menurutnya, intelijen Perancis telah menggunakan serangan teroris di Mumbai pada November 2008 lalu sebagai rujukan mereka dalam mempertahankan negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Serangan di Mumbai terjadi di fasilitas umum yang ramai dan diluncurkan oleh sejumlah teroris yang bertujuan membunuh sebanyak mungkin orang.

Meski menjadikan serangan di Mumbai sebagai rujukan untuk memperkuat pertahanan negara, menurut Trotignon, tidak mudah memprediksi serangan semacam ini, mengingat besarnya jumlah target ekstremis yang potensial melakukan serangan.

"Sangat sulit bertahan dari serangan seperti itu setelah serangan sudah mulai diluncurkan. Bukan hanya di Mumbai, serangan semacam itu juga terjadi di Nairobi dan Peshawar," kata Trotignon, Sabtu (14/11).

"Sulit pula untuk menyebut peristiwa kemarin malam sebagai keberhasilan bagi badan-badan intelijen. Tapi, sampai kita tahu lebih banyak soal serangan dan organisasi yang meluncurkannya, tidak layak untuk menyalahkan pihak manapun," ujar Trotignon, yang kini berprofesi sebagai penasihat di lembaga konsultan teknik dan penilaian risiko, Risk & Co.

Serangan teror di Paris yang mengejutkan publik dunia pada Jumat lalu terjadi setelah pihak keamanan Perancis berhasil menggagalkan serangkaian percobaan serangan oleh kelompok militan ISIS di Perancis dalam beberapa bulan terakhir.

Intelijen Perancis melaporkan pihaknya berhasil menemukan setidaknya enam plot teror. Meski demikian, para pejabat senior Perancis mengaku khawatir terhadap besarnya rencana serangan teror dan banyaknya warga Perancis sendiri yang bersimpati kepada kelompok teror, baik di dalam maupun di luar negeri.

"Kami sekarang menjadi musuh kelompok militan ISIS nomor satu," kata Marc Trevidic, hakim Perancis yang tengah meneliti kasus kontraterorisme, sesaat sebelum serangan Paris diluncurkan.

"Perancis adalah target utama untuk pasukan teroris yang memiliki persenjataan tak terbatas. Selain itu, juga jelas bahwa kita sangat rentan karena posisi geografis kita, yang sangat mudah dimasuki oleh jihadis asal Eropa," katanya.

"Hari paling gelap kini ada di depan kita. Perang nyata yang ingin diluncurkan ISIS di tanah air kita belum dimulai," kata Trevidic kepada Paris Match.

Sementara, Presiden Perancis, François Hollande, menyatakan Perancis perlu mempersiapkan diri terhadap kemungkinan serangan teror lebih lanjut.

Hollande juga berjanji akan memberikan respons keras terhadap siapa pun yang menjadi dalang dari serangan ini.

"Saat para teroris bisa melakukan kekejaman seperti itu, mereka harus juga tahu bahwa mereka akan berhadapan dengan Perancis yang bertekad kuat -- Perancis bersatu," kata Hollande.

Perkuatan pertahanan

Sejak serangkaian penembakan di kantor majalah satire Charlie Hebdo pada Januari yang kerap disebut-sebut sebagai serangan teroris terburuk Perancis selama beberapa dekade, pihak keamanan Perancis mengaku telah menerapkan berbagai langkah untuk memperkuat pertahanan.

Unit kontraterorisme Perancis direorganisasi dan kini berada di bawah pertanggungjawaban Kementerian Dalam Negeri, dengan wewenang pengawasan yang lebih luas,

Sejumlah langkah tersebut, nampaknya, belum dapat memberikan dampak yang signifikan, karena sekitar 2.000 posisi baru yang terbentuk akibat reorganisasi ini masih kosong.

Pengawasan kontraterorisme yang lebih luas terutama bertujuan untuk memungkinkan intelijen Perancis mengawasi individu yang dicurigai terlibat dalam kegiatan ekstremis. Reorganisasi ini dengan sendirinya mengkonfirmasi bahwa intelijen Perancis sebelumnya kekurangan sumber daya dalam mengawasi calon jihadis.

Pengawasan terhadap para penyerang Charlie Hebdo, misalnya, berakhir tak lama sebelum para penyerang merencanakan serangan mereka. Perburuan para tersangka kemudian mengerucut kepada jaringan yang terkait dengan Suriah dan Irak.

Padahal, sebanyak lebih dari 1.500 warga Perancis diyakini berpergian ke salah satu dari dua negara tersebut, untuk bergabung dengan ekstremis. Sekitar 250 orang lainnya kembali ke Perancis, dan berpotensi meluncurkan serangan teror di dalam negeri.

Sementara, badan intelijen Perancis memiliki 11.000 nama tersangka jihadis dalam bank data mereka, yang kapan saja berpotensi meluncurkan serangan teror.

Pengetatan langkah kontraterorisme yang baru diterapkan di Perancis pada Juni lalu dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pengawasan badan intelijen. Meski demikian, Trotignon mempertanyakan efektivitas langkah ini karena dilakukan tanpa perbaikan organisasi intelijen.

Trotignon khawatir arus informasi yang masuk tidak dapat mengidentifikasi ancaman yang nyata dari para ekstremis, sehingga serangan tak dapat dicegah. (ama)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER