Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika gedung-gedung terkenal dunia dihiasi cahaya lampu berwarna bendera Perancis dan kabar tewasnya 129 orang dalam serangan di Paris pada Jumat (13/11) lalu mewarnai halaman depan berbagai surat kabar, Beirut sebenarnya juga merasakan duka mendalam warga Barat. Namun, mata dunia tak tertuju ke Libanon.
Hanya sehari sebelum serangan di Perancis terjadi, dua bom bunuh diri meledak di ibu kota Libanon, merenggut 43 nyawa dan melukai 239 orang lainnya.
Diberitakan
CNN, bom tersebut meledak di distrik di selatan Beirut pada Kamis (12/11). Sekitar 150 meter dari sana, bom kedua meledak hanya berselang lima menit.
Namun pada Jumat, kamera negara Barat berpaling dan hanya berfokus ke Perancis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika warga saya mati, tak ada negara yang menyalakan lampu berwarna bendera negara saya di gedung-gedung terkenalnya. Ketika warga saya mati, dunia tidak berduka. Kematian mereka hanyalah debu di tengah lingkaran berita internasional. Hanya sesuatu yang terjadi di belahan dunia itu," tulis seorang dokter Libanon, Elie Fares, dalam blog pribadinya.
Beberapa pakar menilai hal ini cukup janggal. Pasalnya, insiden ini disebut-sebut sebagai kasus paling mematikan dalam sejarah kedua negara. Kedua serangan inipun diklaim oleh pihak yang sama, yaitu ISIS.
Jaringan ISIS pelaku kedua serangan bahkan disinyalir saling berkaitan.
Tak hanya itu, tiga anggota lokal Hizbullah dikabarkan turut tewas dalam ledakan bom di Libanon.
Sosok pahlawanInsiden di Libanon pun memiliki sosok pahlawan yang semestinya mampu menarik perhatian orang di berbagai jejaring sosial.
Adalah Adel Termos, seorang warga Libanon biasa yang merelakan nyawanya demi menyelamatkan orang lain.
Termos sedang berjalan-jalan bersama putrinya di sekitar lokasi kejadian ketika ia melihat seorang pengebom sedang mempersiapkan rompi ledaknya. Ia lantas menghalangi pria tersebut, merelakan nyawanya melayang, menyelamatkan puluhan atau bahkan ratusan orang lain.
Namanya sempat mencuat di jejaring sosial, tapi perlahan tenggelam dalam ketenaran fitur
safety check di laman Facebook gagasan Mark Zuckerberg.
Dunia maya sempat bergejolak dan protes terhadap standar ganda Facebook ini. Membendung gelombang protes tersebut, Wakil Presiden Facebook, Alex Schultz, angkat bicara.
"Harus ada kali pertama untuk mencoba hal baru, bahkan dalam situasi kompleks dan sensitif. Bagi kami, itu adalah Paris. Aktivasi ini akan mengubah kebijakan kami mengenai
Safety Check dan kami akan mengaktifkan ini dalam insiden tragis dan serius di masa depan," katanya.
Kuranganya sorotan dan simpati terhadap Libanon dianggap patut dipertanyakan. Pasalnya, Libanon pun sebenarnya sudah lama menjadi korban kekejaman negara-negara tetangganya.
Kedekatan lokasi Libanon dengan wilayah ISIS di Suriah menyebabkan negara tersebut dihantui serangan teror.
Perselisihan dalam tubuh pemerintahan Libanon sendiri diperkeruh oleh akibat perang sipil berdarah di Suriah.
Akibat perang Suriah pula, Libanon dibanjiri lebih dari satu juta pengungsi yang juga berpotensi melakukan kekerasan.
(stu)