Jakarta, CNN Indonesia -- Hanya berselang beberapa hari setelah rangkaian serangan teror mematikan mengguncang Paris pada Jumat (13/11), beberapa fakta mengenai pelaku mulai bermunculan.
Salah satu pelaku bom bunuh diri disinyalir ditemani seseorang saat melakukan perjalanan melewati Balkan menuju timur Eropa setelah memasuki Yunani, menyamar sebagai pengungsi Suriah.
Pelaku diduga tiba di Paris lebih cepat dan mudah dari perkiraan. Pasalnya, saat pelaku menyeberang, sedang terjadi desakan di antara para pencari suaka di sepanjang perbatasan untuk menghindari penumpukan karena Hungaria mulai menutup perbatasannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang meledakkan dirinya di dekat stadium Stade de France ini memang teridentifikasi berasal dari Suriah, terpantau dari paspor yang ditemukan di dekat jasadnya. Dalam paspor tersebut tertera nama Ahmad al-Mohammad dari Kota Idlib, Suriah.
Seperti dilansir Reuters, paspor tersebut sebenarnya bisa saja salah atau dicuri. Namun, pemegang paspor itu tercatat tiba di Leros, Yunani, setelah menempuh perjalanan laut menggunakan kapal dari Turki.
Pihak otoritas Perancis memastikan bahwa sidik jari pelaku bom bunuh diri sesuai dengan pria yang tiba di Leros.
Pejabat Yunani mengatakan bahwa Mohammad ditengarai tidak pergi dengan seseorang yang spesifik, melainkan bersama rombongan lain.
Namun seorang sumber kontra-intelijen di Makedonia, salah satu negara yang juga dilintasi oleh Mohammad, mengatakan bahwa sedang dilakukan investigasi besar-besaran di Balkan mengenai rute kedua orang tersebut.
Sumber anonim tersebut mengaku kepada Reuters bahwa Makedonia berkoordinasi dengan Yunani untuk mengungkap fakta lebih jauh mengenai Mohammad. Ia mengindikasikan bahwa Mohammad bersama temannya tersebut ketika membeli tiket dari kapal menuju Piraeus, Yunani.
"Pada 4 Oktober, mereka membeli tiket feri seharga 51,5 euro (setara Rp754 ribu) dan mereka tiba di Piraeus pada 23.10 tanggal 5 Oktober menggunakan feri Diagoras," kata sumber itu.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh pemilik agen perjalanan Kastis, Dimitris Kastis. Ia ingat menjual tiket kapal kepada Mohammad dan temannya.
"Ia tidak melakukan atau mengatakan apapun yang menarik perhatian saya," ujar Kastis.
Menurut Kastis, Mohammad dan temannya memiliki nama belakang yang mirip.
Beredarnya kabar Mohammad yang bepergian dengan temannya ini mendapat perhatian luas. Seorang pejabat kepolisian Kroasia yang enggan disebutkan namanya juga mengatakan kepada Reuters bahwa mereka sedang mengadakan penyelidikan mengenai perjalanan Mohammed.
Fokus penyelidikan adalah apakah Mohammed pergi bersama seorang rekan atau sendiri. Jika ya, dengan siapa.
 Arus pengungsi dalam jumlah besar membuat mudah bagi militan menyusup memasuki negara-negara Eropa. (Reuters/Marko Djurica) |
Rute BalkanTerlepas dari dengan siapa Mohammed pergi, yang jelas ia dapat masuk ke negara Uni Eropa dengan mulus.
Seperti dilansir Reuters, sebelum memasuki negara Uni Eropa, sidik jari pengunjung akan direkam di basis data bernama Eurodac.
Dengan paspor terlihat asli dan tak ada rekam jejak kejahatan, Mohammed diberikan izin yang memungkinkannya untuk tinggal di Yunani selama enam bulan.
Menteri Imigrasi Yunani, Yannis Mouzalas, memperlihatkan kopi dari izin tersebut kepada wartawan. Dalam bahasa Yunani, tertera ketentuan bahwa pemegang izin tersebut tak diperbolehkan meninggalkan Korintus selama periode itu tanpa melapor ke polisi.
Namun dalam hitungan hari, Mohammad sudah pergi bahkan setidaknya mencapai Kroasia.
Sumber kontra-intelijen Makedonia mengatakan bahwa Mohammad masih berjalan bersama tekannya selama dua hari setelah tiba di Piraeus. Mereka mendaftar di kamp pengungsi di belakang kebun tembakau tua di Kota Presevo, Serbia.
Mohammad kemudian melanjutkan perjalanan ke Kroasia, entah menggunakan kereta atau bus, dan terdaftar di kamp pengungsi Opatovac pada 8 Oktober.
Hingga kini, Reuters belum dapat melacak rute yang diambil selanjutnya oleh Mohammed, serta apakah ia ditemani seseorang.
Kepolisian Kroasia mengatakan bahwa ia hampir menuju Hungaria dalam waktu 24 jam. Namun, Budapest tak memiliki rekam jejak ia memasuki Kroasia yang pada waktu itu dibanjiri ribuan imigran setiap harinya.
 Setidaknya 129 orang tewas dalam serangan di Paris 13 November lalu. (Reuters/Christian Hartmann) |
Setelah dari Kroasia, kemungkinan besar tujuan Mohammad selanjutnya adalah Austria. Pada awal Oktober, imigran dikirim menggunakan kereta dengan pintu terkunci menuju Hegyeshalom di perbatasan Austria. Menurut pantauan jurnalis Reuters, di sana ada para pengungsi diantar masuk ke Austria tanpa diperiksa dokumennya.
Menteri Dalam Negeri Austria, Karl-Heinz Grundboeck, mengakui adanya spekulasi bahwa seorang pria bernama al-Mohammad memasuki Austria, yang seperti Perancis, merupakan bagian dari zona Schengen, di mana kontrol perbatasan internal rutin sudah dihapuskan.
Namun Wina mengonfirmasi bahwa salah satu pelaku lainnya, seorang Perancis kelahiran Belgia, Salah Abdeslam, memasuki Austria dari Jerman pada 9 September.
Kemungkinan lain pun mulai dipikirkan, termasuk jika ternyata Mohammed sempat memasuki Hungaria.
Namun juru bicara pemerintah Hungaria, Zoltan Kovacs, mengatakan bahwa Budapest tak memiliki informasi apapun mengenai hal tersebut.
Hungaria menutup perbatasannya untuk menangkal gelombang imigran dari Serbia pada 15 September. Saat itu, imigran terpaksa melewati perbatasan utara Hungaria untuk menuju Kroasia, kebanyakan tanpa pemeriksaan.
Posisi sulit OrbanKetika menutup pintu perbatasannya bagi imigran, Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban, sempat dikecam beberapa pihak. Namun, Orban tetap teguh pendirian. Menurutnya, ada kemungkinan teroris menyelinap di tengah pengungsi yang kabur dari kemiskinan dan perang di negaranya.
Isu ini juga sempat memanas di Jerman, ketika Kanselir Angela Merkel dikritik karena membuka pintu selebar-lebarnya bagi pengungsi.
Ironi mulai merebak ketika berita mengenai dugaan pelaku penyerangan mematikan di Perancis yang merenggut lebih dari 120 jiwa ini adalah salah satu imigran.
Namun, pihak otoritas mengatakan bahwa gelombang imigran dalam beberapa bulan terakhir membuat mereka tak mungkin mendeteksi adanya kemungkinan teroris menyelinap.
"Kami sudah mengambil sidik jari, tapi bagaimana kami memeriksanya? Menggunakan basis data mana? Jika tidak ada informasi apapun mengenai orang tersebut atau dia bukan buronan Interpol, dia dapat pergi. Ia bisa saja Osama Bin Laden yang sudah bercukur," kata seorang pejabat penegak hukum Serbia.
(stu)